google-site-verification: google0ff5c5556fbbcbba.html

.:l jendela l:.

Celah Sirkulasi Untuk Berbagi

27.6.08

Keponakan adalah Jendela Pelipur

Diposting oleh diNa |

Bulan Desember 2 tahun yang lalu, Jawa Pos memuat tulisan seputar kehidupan tanpa anak. Ada foto laki-laki sedang bercengkerama dengan 3 anak-anak. Ceria! Tapi siapa yang tahu apa yang sedang dipikirkan laki-laki tadi? Itulah suami saya bersama Dito, Raka dan Rangga. Anak-anak yang lucu buah perkawinan dua kakak saya.

Saya adalah bagian kebahagiaan bersama para keponakan. Berbeda dengan suami saya yang berani bertutur isi kepala dan perasaan di hati di Jawa Pos yang dibaca seabrek pelanggan, saya tidak. Tidak mampu! Perjuangan untuk mempunyai anak sudah 11 tahun seusia perkawinan saya. Mulai ramuan 'penyubur', tongkat kayu perangkat refleksi kaki sampai teknologi canggih inseminasi. Waktu terus merangkak, orang Jawa bilang "biar gak gelo" atau biar tidak kecewa di kemudian hari, saya putuskan bersama suami mengambil keputusan aji pamungkas, bayi tabung! mahal? tidak! Hanya moahal!! Mahal di waktu maupun di proses. Juga moahal karena mental tertekan habis.

Prosesi pertama disuntik di perut kanan kiri secara bergantian lebih kurang selama 2 minggu, untuk membersihkan rahim dan menambah kesuburan. Prosesi suntik saya lakukan sendiri setiap sore hari. Jadi setiap berangkat kerja saya selalu bawa ampul obat dan jarum suntik. Pernah suatu kali harus tugas di Bali, pas harus 'nyuntik' ternyata masih diperjalanan, terpaksa deh minta pengertian pak sopir keluar mobil sebentar. Hasil suntik menyuntik ini dipantau terus dengan USG. Setelah telor dirasa matang, saat itulah telor saya diambil untuk dipertemukan dengan sperma suami saya. Kira-kira 3 hari kemudian, hasil pembelahan telor dan sprema dimasukkan di rahim saya. Inilah saat yang paling menegangkan dan melelahkan baik fisik maupun psikis. Bayangkan, setelah hasil pembelahan dimasukkan dalam rahim saya, minimal selama 3 jam saya tidak boleh gerak dengan kepala ditaruh di bawah dan kaki di atas. Biasanya saya bertahan selama 8 jam. Gak kencing, makan disuapin dan berdoa supaya bisa tidur.

Kira-kira 10 hari kemudian, baru "rapor" siap dibagikan. Saat itulah yang paling menegangkan, dan 2x pula "rapor" saya merah :) Tapi semua saya kembalikan kepada Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu rencana hidup kita. Di Jendela yang terbuka ini, mungkin saran dan berbagi pengalaman adalah obat kuat bagi saya.


Baca lanjutannya ya...>>>>>
20.6.08

Jendela Bukan Pintu

Diposting oleh diNa |

Jendela bukan Pintu. Pintu adalah akses utama. Ketika terbuka, isi perut terlihat menganga. Mata pun melotot bebas mengaduk-aduk semua isi. Puas.


Terbukanya pintu, membuat angin berbondong-bondong menyeruak masuk. Tidak ada kata antri. Berdampak luas bagi 'hawa' panas penghuni lawas. Hawa dingin mendorong paksa hawa panas untuk menyingkir. Panas tergantikan oleh hawa dingin. Frontal! Adaptasi hawa baru harus berlaku.

Jendela bukanlah Pintu. Tidak pernah diketuk jika tidak perlu. Jendela adalah media sirkulasi tetapi harus antri. Sedikit demi sedikit, hawa panas tergantikan hawa dingin. Tidak frontal. Adaptasi bergulir serasi. Walaupun menganga terbuka lebar.


Jendela adalah media, untuk mengintip bagian dari isi rumah. Mengangapun mata tidak mampu mengudak-udak isi perut rumah.

Sebaliknya, di balik jendela adalah media menatap isi dunia. Mata menatap luas tanpa batas. Balik jendela adalah media untuk 'sembunyi' bagi orang yang ingin berbagi. Tanpa terkuak utuh, terlihat kasat jati dirinya. Jendela bukanlah aset sirkulasi utama, dan jendela adalah media sempit yang agak rumit. Dari jendelalah, saya ingin berbagi cerita. Karena saya belum mampu, maka saya tidak memilih lewat pintu. Walaupun sempit, semoga saya mampu berbagi sedikit melalui jendela. Bukalah jendela, mari berbagi...



Baca lanjutannya ya...>>>>>
Subscribe