Mumpung bulan Syawal belum lewat, mohon maaf lahir batin juga buat semua yang sudah mampir, semoga kita kembali ke Fitri.
Lebaran kali ini terbilang sangat asyik. Keluargaku bisa berkumpul lengkap. Kakak laki-lakiku yang 2 tahun ini absen karena kesibukannya dapat berpartisipasi dalam gathering tahunan keluarga. Jujur, bukan kakakku yang membuat suasana seru, tapi dua anak cowoknya, raka (9 tahun) dan rangga (5 tahun).
Aku mudik duluan, sampai di Jogja hari Sabtu sore tanggal 27 September. Minggu pagi, Raka dan Rangga bersama kedua orang tuanya sudah memberi warna suara anak-anak diantara dominasi suara dewasa di rumahku. Ketika kelelahan sudah menghilang, dua makhluk ini berhasil membuat ibuku sedikit panik dan berkali-kali meneriakan kata awas dan himbauan lainnya manakala barang-barang di rumah diacak-acak dijadikan mainan.
Minggu, tanggal 28 Sepetember sore, penghuni rumah bertambah. Adikku datang dengan anaknya Rafi (6 tahun) plus 'pawang'nya. Kini, pengacakan barang-barang semakin seru dengan kolaborasi 3 jagoan. Dua dari Surabaya plus satu jagoan Jakarta.
Ibuku adalah orang yang sangat detail soal kebersihan dan kerapihan rumah. Tidak salah, kalau rumah Belanda yang aku tempati tetap kelihatan seperti Noni-Noni cantik yang malas beranjak tua. Namun, kerapihan rumah yang terjaga menjadi tak berdaya dengan intervensi 3 jagoan yang berlabel cucu.
Selasa pagi, suamiku sampai di Jogja. Selasa sore kakak tertuaku ikut bergabung bersama suami dan anak semata wayangnya, Dito. Rumah Belanda tempat kami tinggal semasa kecil rupanya tidak cukup lagi menampung kami yang sudah berkeluarga dan beranak pinak. Jadi terpaksa sebagian dari kami harus tidur di hotel yang tidak jauh dari rumah.
Dito berusia jauh lebih tua, sehingga posisinya menjadi 'kepala suku'. Formasi pun menjadi lengkap. Terpancar perasaan senang dari raut wajah ibuku melihat polah tingkah cucu-cucunya. Mbak Yah yang sehari-hari membantu ibu di rumah pun memilih tidak Lebaran di Wonosari tumpah darahnya. Rasa tulus dalam balutan bisnis bisa jadi bagian dari strategi tahunannya. Buktinya, aku merasa wajib dan ikhlas membawakan baju lebaran untuk dia dan kedua anaknya, plus salam tempel yang diikuti dua kakakku plus adikku. Berbagi adalah kudu di hari Lebaran. Mbak Yah memilih tetap tinggal bersama, hingga wajahnya selalu sumringah.
Walaupun ada beberapa bagian keluarga yang 'terpaksa' tidur terpisah, namun hari Rabu jam 06.00, semua sudah kumpul di rumah. Tujuannya adalah Sholat Ied bersama. Setelah semua siap, mobil-mobil yang masih lelah menempuh ratusan kilometer itu meluncur membawa keluarga kami menuju Alun Alun Lor. Jam masih menunjukan 6.30, namun akses menuju Alun Alun Lor, halaman utara Keraton Jogja tempat Sholat sudah macet. Kami memilih parkir di Jln. Brigjen katamso. Jauh?? Lumayan. Kelompok usia 5 tahun menempel orang tua masing-masing, bersiap-siap minta gendong. Saya pun menempel ibu memapah dalam suasana kangen. Kami berjalan bersama menembus rangkaian mobil parkir dan derap kaki jamaah lainnya.
Puluhan fakir miskin menjulurkan tangan menyapa. Bersamaan pula pedagang makanan, balon, minuman bersiap menerima limpahan rejeki. Termasuk bau menyengat sate gajih yang terus dikipas dengan aroma berhamburan terdorong angin. Mbok-mbok bakul penjual telor merah menor juga sudah duduk simpuh menyapa para jamaah.
Sesampai halaman Alun-Alun Lor Kraton Jogja, keluarga saya pun terpencar berdasarkan gender. Kelompok laki-laki meyeruak maju melewati lautan debu. Hujan yang belum turun menjadikan alun-alun dijauhi rerumputan hijau dan berganti lautan debu nan gersang. Sedangkan, kelompok perempuan ada di belakang.
Selesai Sholat Ied, kembali keluargaku dipersatukan oleh letak parkir mobil. Tidak ada yang berkeinginan jalan duluan. Bukan tidak berani, namun semuanya menunggu kehadiran Ibu. Hormat? Pasti. Tapi yang lebih pasti ibu ditunggu karena membawa kunci rumah. Iring-iringan mobil kembali menuju ke rumah. Sesampai di rumah, peluk cium dan bersalaman menyampaikan rasa maaf berbaur dari usia muda ke saudara yang lebih tua. Setelah selesai, barulan pesta dimulai.
Ketupat dibelah dan dipotong. Selanjutnya Opor ayam yang diikuti sambal goreng disiramkan di atasnya. Satu persatu piring yang telah berisi makanan khas Lebaran itu diambil pengantri dan mulai dinikmati sambil bercengkrama. Jujur, momen inilah yang paling aku suka. Kumpul dan menikmati masakan ibu yang puluhan tahun selalu menemani Lebaranku.
Setelah makan bareng klar, saatnya 'open house' dimulai. Puluhan paket makanan kecil dan uang jajan berpindah ke tangan-tangan kecil dengan semangat kebersamaan di hari Lebaran. Setelah itu hilir mudik tetangga dan saudara mampir di rumah ibu, bersilaturahim dan saling bermaafan.
Seminggu benar-benar kepala jauh dari rutinitas dan target perusahaan. Namun target yang terbeban adalah hunting makanan, jalan-jalan dan beli oleh-oleh buat teman-teman karena harus menembus macetnya Yogyakarta yang diserbu oleh para pemudik yang datang dari berbagai kota. Namun beberapa macam makanan sudah berhasil saya taklukan, dari berbagai soto khas Jogja, mie godog, kupat sayur- sate lembu dan gudeg yang akan saya kupas setelah posting ini. Tunggu yaa.. :)
Ciptakan Rumah Idaman: Listrik yang Aman dan Nyaman bagi Keluarga
6 hari yang lalu