google-site-verification: google0ff5c5556fbbcbba.html

.:l jendela l:.

Celah Sirkulasi Untuk Berbagi

6.12.14

IBUKU JUGA AYAHKU

Diposting oleh diNa |

Ketika pantatku sudah merasakan posisi nyaman duduk di bangku kelas, konsentrasi tingkat dewa dimulai. Kedua telingaku merekam gerakan mulut guru matematika. Sebal! Kenapa mesti harus ketemu pelajaran ini lagi. Tanganku lincah menggoreskan hal-hal yang dirasa penting di lembar halaman buku. Kadang bolpoin beralih fungsi sebagai alat garuk kulit kepala saat bosan mulai menerjang. Mulut pun mulai komat kamit mempersembahkan sumpah serapah untuk si guru. Berdoa, berharap bel sekolah segera menjemput guru meninggalkan ruang kelas. Berdoa, semoga segera menanggalkan seragam putih abu-abuku. Benakku segera ingin berkata, "Good bye pelajaran matematika."

Di tengah pelajaran, seperti biasa pikiranku melayang dan melompat-lompat menelanjangi isi rumah nun di sana. Hobi aneh, tapi mengasyikan dan bikin ketagihan. Lauk apa ya siang ini? Makanan yg tertinggal di kamar dimakan adik gak ya? Semoga makananku masih di tempatnya saat pulang sekolah nanti. Benakku mulai liar melayang. Kepikiran. Satu per satu sudut kamar kost sederhana yang disewakan ibuku pun aku "telanjangi". Hmmm.., jadi ingat gaya mereka. Anak kost, ada yang baik, namun ada juga yang tengil. Bahkan ada yang merasa hebat karena latar belakangnya dari keluarga berada meskipun sekarang biasa saja. Tapi alhamdulillah, manusia "aneh" seperti itu tidak mendominasi keluarga besar anak kost di rumah kami. Biasanya mereka adalah warga titipan. Bisa masuk asal ada katebelece alias rekomendasi dari warga atau lulusan warga.

Persyaratan saat masuk menjadi strategi jitu memilih karakter yang hampir sama dengan harapan kami. Ibu sangat menggarisbawahi soal aturan ini, untuk melindungi "asrama dara", kakak, aku dan adikku yang semuanya perempuan.

Sedang apa ibuku? Pikiranku melompat lagi. Sedang memasak? Membersihkan rumah? Memilih sayuran sambil ngobrol dengan Yu blanjan? Sebutan kami untuk pedagang sayur yang biasa keliling di kampung kami. Ataukah sedang menggerakan mesin jahitnya yang bermerek Standard? Suaranya khas, seperti derap langkah tentara baris berbaris, semakin lama semakin kencang.

Di rumah kami yang berarsitektur Belanda, bekas rumah jaman Belanda, suara mesin jahit Standard serasa menggema. Memecah kesunyian. Kedua kaki ibu tanpa beralas kaki kompak menggerakan pedal besar yang terkoneksi dengan tali rotan yang menggerakan engkol. Otomatis gerakan ini diterima jarum menembus pori-pori kain, mengikuti garis pola yang telah diukur sebelumnya. Menyalurkan dan mempertemukan dua benang sebagai "lem" yang berfungsi sebagai pengikat dan menyambungkan kain-kain tadi menjadi pakaian. Bau minyak terbakar seperti aroma terapi. Bau ini hanya muncul saat mesin mulai kelelahan dan memanas. Balutan minyak di tali rotan yang terkena panas adalah sumber aroma terapi tadi. Baunya khas, mengalahkan bau karbol yang menempel di lantai rumah.

Beberapa hal yang membuat ibu baru bisa berhenti dari aktivitas menjahitnya, antara lain saat ibu tidak kuat lagi menahan rasa ingin kencing. Jarak antara kamar tengah dengan kamar mandi lumayan jauh. Oleh arsitek Belanda kamar mandi ditaruh di bagian belakang. Filosofi klasik menyatakan, hal-hal yang menimbulkan bau seperti dapur dan kamar mandi sebaiknya berada di posisi paling belakang. Hal-hal yang bersifat kebaikan dan keindahan berada di bagian depan, seperti kebanyakan posisi ruang tamu dan ruang keluarga. Jarak yang lumayan jauh adalah berkah, karena saat itulah ibu bisa menggerakan kembali bagian tubuhnya yang lain. Kesempatan untuk melemaskan otot-otot yang kaku karena berjam-jam duduk di bangku mesin jahit.

Ibu juga baru berhenti sejenak saat terdengar ketukan pintu rumah. Tamu datang adalah berkah. Bisa jadi tamu itu akan memberi uang jasa ongkos menjahit. Bisa juga, tamu itu datang membawa bahan untuk dijadikan pakaian. Untuk tamu yang mengambil jahitan, istirahat ibu otomatis sebentar. Memberikan baju yang telah jadi dan mengambil uang kembalian dari dompet yang disimpan rapi di dalam almari pakaian. Namun jika tamu membawa kain, istirahat ibu bisa lumayan panjang. Mengukur bagian-bagian tubuh dengan meteran lalu mencatatnya di buku tebal yang mulai kumal. Plus bonus ngobrol menemani tamu berbasa-basi.

Saat ibu sedang menjalankan mesin jahitnya, kadang aku menemani ibu sambil bermanja ria. Berbagi bangku dengan ibu, menyenderkan kepala di punggung ibu sambil membuka buku pelajaran. Hatiku terasa ayem dan tentrem. Sesekali aku mencoba memecahkan suara mesin jahit dengan pertanyaan-pertanyaan yang kurang penting. Pokoknya, sekedar menghibur dan memberi energi baru untuk ibu. Sangat simple, tapi terasa sangat mahal. Kangen rasanya...

Kadang aku juga kebagian peran sebagai anggota team penjemput bola. Bila masa bayar sekolah tiba, namun pakaian yang telah jadi belum juga diambil oleh pemiliknya, itulah tugasku, berperan laksana debt collector. Mencari alamat dengan sepeda pancal, menembus gang-gang kecil khas kotaku. Pulang, kaki mengayuh sepeda dengan riang karena uang untuk bayar SPP sudah di saku. Kadang langganan ibu ada yang baik hati, memberi tip saat aku mengirimkan bajunya. Mungkin tidak tahan melihat wajahku yang bermandi peluh. Lumayan untuk menambah uang jajan. Namun tidak jarang pula aku bertemu dengan langganan ibu yang hanya berbicara sepatah dan seperlunya, persis gaya orang kaya di sinetron yang rajin menghiasi televisi saat ini. Senang tidak senang, aku harus senang. Merekalah yang memperpanjang kesempatanku bersama kakak dan adikku menduduki bangku sekolah.

Tidak semua uang jahitan diterima utuh oleh ibu. Biasanya ibu sudah wanti-wanti minta dibelikan benang, sekoci, kain keras, kancing baju, ritsleting dan bila perlu mampir ke tukang jahit menutup ongkos service mesin jahit. Di tengah pelajaran, kadang pikiranku bukan hanya terpaku soal ibu. Tapi juga tentang ayah. Pria gagah dengan karakter keras ini adalah sosok tangguh dalam keluarga. Darah Sumenep Maduranya adalah perpaduan kehalusan dan pekerja keras khas orang Madura pada umumnya.

Ibu memilih ayah selain tampan, juga karena ayah adalah laki-laki sejati. Sebelum menikah, ayah sudah mempunyai modal berumah tangga yang sangat digdaya. Rumah, vespa, belum lagi barang-barang hobi khas lelaki, seperti motor gede, juga beberapa kamera dan jam tangan branded. Perantauan Madura ini mampu menyejajarkan kebutuhan kuliah dan bekerja. Dua-duanya Alhamdulillah berbuah berkah. Ketika lulus kuliah ayah malah terus menekuni bisnisnya. Khas mahasiswa, bisnisnya seputar kursus mengetik, jasa pengetikan dan kursus menulis. Lama kelamaan bisnis tadi berkembang menjadi percetakan kecil-kecilan. Kehidupan kami bisa dibilang nyaman. Kami menempati rumah yang berada dalam lingkaran tengah kota, cukup menjadi bukti kemampuan ayah mengais rejeki halal.

Di tengah kemapanan hidup ala kami, ayah meninggalkan bisnisnya. Ibu menginginkan ayah menjadi pegawai negeri mengabdikan diri sesuai ijasah dari Fakultas Hukum yang selama ini hanya mengisi bagian arsip di almari. Ayah pun harus pindah dari satu kota ke kota lainnya. Pada saat Ayah dimutasi ke Payakumbuh Sumatera Barat, kami sekeluarga ikut diboyongnya. Disana ayah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri. Seperti kebanyakan keluarga pejabat, hidup kami pun penuh hormat.

Hidup itu ternyata seperti cuaca. Pagi terang benderang, malam hujan bisa mengguyur deras. Pun demikian bisa juga sebaliknya, pagi hujan deras, sore terang benderang. Begitupun hidup kami. Ayah mengalami gagal ginjal dan akhirnya dijemput oleh Sang Khaliq. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Seperti membalikkan telapak tangan, kehidupan kami benar-benar kembali ke titik nadir. Disaat duka belum juga sirna, ibu memutuskan memilih kembali ke kota asal. Saat itu umur ibu masih ranum, 30 tahun. Aku berusia 2 tahun, kakak laki-lakiku satu-satunya berusia 5 tahun, kakak sulung 8 tahun, sedangkan adik bungsuku masih berusia 1,5 tahun. Untuk pulang ke kota asal, ibu memilih kapal laut untuk memindahkan kami. Hantaman ombak selama perjalanan sepertinya pembelajaran Allah kepada keluarga kami. Berhari-hari kami terombang-ambing di tengah laut. Allah sepertinya mulai membiasakan hidup kami seperti kapal yang sedang berlayar. Terombang ambing dan penuh tantangan alam.

Seperti terbangun dari tidur panjang. Kini ibu harus menyingsingkan lengan baju. Maju perang mengais rejeki yang halal. Ibu harus bisa bangkit di saat kritis dengan cara yang taktis. Padahal selama ini ibu hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja. Beruntung, ibu dulu sekolah SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Putri), pekerjaan khas perempuan lumayan mudah dikuasainya. Ibu memilih menjahit untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun beberapa keluarga ayah termasuk berada, namun ibu lebih senang memilih prinsip hidup ala Mahatma Gandi. Ibu ingin berdiri di atas kaki sendiri. Tidak ingin menyusahkan dan menggantungkan diri kepada orang lain, apalagi menjadi berhutang budi. Itu Prinsip!

Menjahit dan menyewakan beberapa kamar kost sederhana sepertinya tidak bisa menutup kebutuhan hidup kami berlima. Terlebih saat musim membayar SPP dan undangan manten datang bertubi-tubi. Pernah nestapa saat kakak laki-laki kami harus opname di rumah sakit selama sebulan akibat penyakit thypus yang menderanya. Untuk mengambil hati para perawat, mustahil bagi kami untuk menabur oleh-oleh seperti keluarga pasien lainnya. Ibu hanya memberikan fasilitas gratis menjahit pakaian untuk mereka. Cespleng, mereka menyambut dengan suka cita. Kami pun senang karena kakak mendapat atensi lebih dari para perawat. Untuk melunasi tagihan kamar dan obat, harta peninggalan ayah satu persatu dilego. Termasuk untuk meneruskan kehidupan kami. Live must go on.

Namun Allah memang Maha Penyayang, alhamdulillah kami berempat selalu mendapat beasiswa, lumayan untuk menambal kebutuhan sekolah. Jujur dan bekerja keras, khas gaya ayah almarhum sepertinya sudah ditransformasi ke ibu. Estafet, ibu menularkan ilmu tadi kepada kami. Hanya prestasi dari anak-anaknyalah yang mampu memberi energi untuk ibu. Prestasi memberi citra dan kebanggan untuk ibu. Itulah stamina yang membuat ibu terus tegar.

Dalam keadaan apapun aku tidak pernah melihat wajah ibu berduka, meskipun mungkin dalam hatinya lara. Masa indahnya bersama ayah terlalu cepat berlalu. Kenikmatan isteri seorang pejabat belum cukup dirasakan. Keindahan duniawi seorang isteri harus ikhlas ditinggalkan. Ibu harus menerima kenyataan hidup, double peran untuk terus menghidupi dan menyekolahkan kami. Keceriaan itulah yang menular kepada kami anak-anaknya. Kami tidak pernah merasa miskin, tidak pernah merasa minder, kami menerima hidup apa adanya. Kegigihan ibu mengais rejeki siang dan malam, menjalankan roda mesin jahit, menyambungkan beberapa potongan kain menjadi pakaian menghasilkan buah yang manis. Kami berempat akhirnya bisa menggondol gelar sarjana dari Universitas terkemuka di Yogyakarta.

Semangat mengayuh roda mesin jahit menambah semangat kami berjibaku dengan buku. Itulah lamunan yang sering menyela saat aku mengikuti pelajaran sekolah, pun sampai sekarang saat aku telah berkeluarga. Lamunan sebagai ungkapan kagum dan kebanggaan yang luar biasa. Kini, ibu telah berusia 76 tahun, namun semangatnya masih seperti dulu. Urat-urat perjuangannya masih tampak sampai sekarang.

Ada satu hal yang tidak bisa aku terjemahkan sampai sekarang. Kenapa saat ibu menjanda di usia 30 tahun, ibu tidak menikah lagi. Ibuku sangat cantik. Semakin cantik dengan rambut ikalnya. Tidak kalah jika diadu dengan para pemeran film Asrama Dara, Film favorit para remaja tahun 70-an. Sepertinya ibu tetap berusaha memelihara cinta untuk ayah.

Rumah Belanda itu telah puluhan tahun sepi. Satu persatu kami anak-anaknya beranjak dewasa, beranak pinak dan mengais rejeki di kota lain. Kini ibu adalah penghuni tunggal. Sepi, itu pasti. Hanya ditemani mbak Yah, loyalis yang selalu mendampingi ibu. Asisten yang selalu memenuhi kebutuhan ibu. Satu lagi teman setia ibu, yaitu mesin jahit bermerek Standard. Namun mesin jahit itu kini telah pensiun dini. Tidak ada lagi suara gemuruh menghadirkan rupiah di keluarga kami. Peran mesin jahit kini telah kami gantikan. Secara gotong royong kami urunan untuk menopang dan mencoba membahagiakan ibu.

Satu kebanggaan kami rasakan ketika mampu mempertemukan ibu dengan makam ayah. Puluhan tahun kedua insan manusia yang telah berpadu terpisahkan oleh fulus. Tidak adanya tabungan dan tidak adanya kelebihan, membuat ibu tidak mampu mengunjungi makam ayah di Padang Sumatera Barat. Ketika sampai di makam ayah perasaan gembira ibu berlipat-lipat. Pertama, ibu bisa bertemu dan bisa merawat makam ayah setelah berpuluh-puluh tahun lamanya. Kedua, ternyata makam ayah nyaris diratakan karena sistem kontrak tanah makam yang diterapkan. Beruntung kami mampu menyelamatkannya, mengurus kontrak tanah makam sesuai peraturan baru.

Gotong royong dengan para saudara terus berlanjut. Kali ini kami menghantarkan ibu ke rumah Allah. Raut wajahnya terlihat ceria menutupi raut wajah kelelahan seorang perempuan perkasa. Selain berdoa, ibu merasa puas mampu mengumrohkan ayah. Namun aku yakin, persembahan kami masih sangat kecil bila dibandingkan dengan kasih sayang dan pengorbanan ibu selama ini kepada kami.

Kalau menengok ke belakang rasanya kelu dan ngilu. Hanya dengan mesin jahit dan Restu Allah ibu mampu menghidupi dan menyekolahkan kami berempat hingga kaki kami bisa mandiri bertumpu. Ibu pahlawan buat kami. Hanya dengan ijasah setara SMA mampu menggerakan roda kehidupan seorang diri dan menjadikan kami lebih berarti. Sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa. Sampai kini mesin jahit bermerek Standard itu masih menghiasi kamar ibu.

Sesekali ibu masih menggunakannya untuk memperbaiki bajunya yang robek dimakan usia. Seperti ibu, mesin jahit itu masih tampak kokoh dan tegar. Bagi kami mesin jahit itu adalah cerminan semangat ibu. Cerminan masa lalu yang pilu. Namun semua itu telah berlalu. Biarlah mesin jahit itu menjadi kenangan kami dan menjadi penyemangat kami mengarungi kehidupan yang penuh dengan liku. Terima kasih ibu.

Baca lanjutannya ya...>>>>>
7.6.14

Untuk Ibu Tak Harus Menunggu Hari Ibu

Diposting oleh diNa |

Saya tiba-tiba ingat ketika suatu saat kantor saya giliran menugaskan saya dan beberapa teman untuk mengikuti sebuah sesi motivator, saya pun cukup excited. Pertama, itu berarti 3 hari lepas sejenak dari rutinitas pekerjaan, kedua bisa mengikuti sesi motivator yang konon sangat bagus dan mengagumkan, ketiga bisa jalan-jalan gratis dan dibiayai perusahaan. Kelihatannya yang ketiga yang mendominasi, hehehe..

Saat sesi motivasi hari pertama dimulai, hati saya pun masih sepi, belum greng, belum tersayat walaupun sang motivator sudah mengeluarkan segala jurus pengetuk hati. Sementara teman-teman di sekitar saya dari berbagai kantor cabang yang diundang mulai berurai air mata, tapi hati saya tetap bisu membeku!

Saya pun mulai menganalisa, mungkinkah lingkungan yang membuat suasana terasa mengharu biru? Atau mereka berusaha berlinang agar perasaannya dianggap "tanggap" oleh stimulus lingkungan? Atau justru saya yang kurang peka? Hahahaha...

Hari pertama berjalan lancar. Prestasi saya, perasaan tetap tegar, tidak goyah dengan berbagai macam stimulus. Gak ada setitik air mata pun jatuh berlinang di sudut mata saya meskipun saya sudah berusaha mengharu birukan hati saya. Hadeeehh Dinaaaa... toyor kepala sendiri, hehehe..

Hari kedua persaaan saya mulai nano-nano, utamanya saat sang motivator mulai membahas tentang orang tua, khususnya ibu. Stimulus itu benar-benar mengaduk-aduk hati dan perasaan saya, airmata saya benar-benar tidak bisa dibendung. Pertahanan saya akhirnya jebol juga.

Saya jadi ingat satu persatu perjuangan ibu sebagai single parent yang harus membesarkan keempat anaknya. Saya ingat betul bagaimana ibu selalu berusaha memenuhi kebutuhan kami berempat hingga kami di Perguruan Tinggi. Kepala jadi kaki dan sebaliknya kaki jadi kepala, mungkin itu pepatah yang paling tepat untuk ibu.

Mampukah saya mengkalkulasi waktu ibu yang hilang? Mengembalikan barang-barang memori yang tertelan di pegadaian? Dan yang paling penting, mampukah saya mengkalkulasi pengorbanan lahir batin ibu saat membesarkan kami anak-anaknya? Tetap bahagiakah ibu waktu itu?

Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran. Semakin banyak pertanyaan yang berkecamuk, tak terasa semakin deras pula air mata mengalir di sudut mata. Perjuangan ibu telah mengaduk-aduk hati dan pikiran saya.

Maaf Ibu, perhatian yang telah kami berikan mungkin masih jauh dari perhatianmu waktu dulu. Cinta kasih kami pun mungkin tidak bisa menandingi pengorbanan ibu selama ini. Tapi yakinlah bahwa kami selalu dan selalu ingin membahagiakan ibu. Tetap sehat, ceria dan bahagia terus ya bu... Kami semua sayang ibu..

Baca lanjutannya ya...>>>>>
1.2.14

[Flash Fiction] - Pupus

Diposting oleh diNa |

Dania buru-buru menutup laptopnya. Kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerjanya dirapikan sekenanya. Sekali-kali matanya melirik ke arah jam tangan merah yang melingkar di tangan kirinya seolah berharap jarum jam berhenti sejenak. Akhir-akhir ini Dania tak ingin melewatkan malam begitu saja.

“Waduh telat, sudah jam 19.00” Batinnya kaget. Setengah berlari Dania menuju ke lift. Dipencetnya tombol basement 2 tempat parkir mobil sedan putih kesayangannya.

Sesampai di apartment, Dania tak sabar membuka tas laptopnya, buru-buru modem ditancapkan. Tiba-tiba... “Ting...” Icon senyum muncul di layarnya. Dania lega, Raja belum off.

Sudah tiga bulan ini hampir setiap malam Dania menghabiskan waktu bersama Raja di dunia maya. Keduanya dipertemukan di sebuah chat room. Bermula dari obrolan hobi, pekerjaan, lama kelamaan seperti helm ketemu kuncinya, klik! Raja mempunyai wawasan yang luas, rasanya tak pernah kehabisan topik ngobrol dengannya. Mulai dari politik, ekonomi, budaya bahkan gosip artis pun dia tahu. Selera humor yang tinggi menambah kesempurnaannya. Tak jarang Dania senyum-senyum bahkan tertawa sendiri saat chatting dengannya. Kebekuan hati Dania setelah putus dengan Andre enam bulan yang lalu akhirnya mencair.

Waktu seolah cepat berlalu saat ngobrol dengan Raja. Kalau boleh memilih, tak ingin rasanyanya pagi menjelang, agar Dania bisa terus bersama Raja, di dunia maya.

“Eaaaa... BBM-an dengan siapa tuuhh pake senyum-senyum segala.” Seru Amel mengejutkan Dania. “Ih, ngagetin aja.. mau tau aja ato mau tau banget..?” Dania menimpali dengan senyum lebarnya. “Pasti dari Raja ya?” “Gimana, kalian jadi ketemuan sabtu besok?” “Tentu dooong...” Celetuk Dania dengan wajah sumringah sambil berlalu.

“Aku harus tampil maksimal.” Batin Dania sambil mencari baju yang pas untuk dikenakan sabtu besuk. Diaduk-aduknya tumpukan baju di lemari pakaiannya, Dania mencari jaket jeans kesayangannya. Raja suka cewek berpakaian sporty. Raja tidak suka cewe yang terlalu girly. Terlalu centil, manja dan terkesan tidak mandiri katanya. Dania tidak ingin mengecewakan Raja di pertemuan pertamanya. Dia ingin tampil cantik sesuai selera Raja. Tak sabar Dania menunggu hari sabtu menjelang. Ingin rasanya ia menggeser kalender lebih cepat. Dania ingin cepat bertemu Raja. Pangeran mayanya.

Hari-hari Dania bertambah ceria setelah pertemuan itu. Raja memang sosok impian. Ganteng, kerjaan mapan, selera humor tinggi, hangat dan taat beribadah. Dania jadi ingat tokoh Boy di film Catatan si Boy yang cukup legendaris. Rasanya 4 jam waktu yang sangat pendek. Tak ada habisnya cerita seru mengalir dari mulut Raja. Sesekali mereka tergelak bersama. Tak ada rasa canggung sedikit pun meskipun ini kali pertama mereka bertemu. Tak terasa Dania sudah menghabiskan 3 gelas frappucino kegemarannya.

Setelah pertemuan itu, hari-hari Dania semakin ceria. Tidak ada lagi wajah murung. Tidak ada lagi tangis dan sepi di hatinya. Dania juga tampak lebih bersemangat. Pekerjaan kantor dilalapnya dengan cepat. Bahkan istirahat siang yang biasanya dilewatkan bersama dengan teman-temannya di warung bu Ijah favoritnya sudah beberapa hari ini dilewatkannya. Dania rela membawa makan siang dari rumah. Ia rela mengerjakan tugas-tugasnya sambil makan di meja kerjanya. Dania ingin cepat pulang. Ia tak ingin terjebak kemacetan ibu kota. Dania tak ingin kehilangan sedetik pun bertemu dengan Raja.

Hari ini Dania tampak resah. Sebentar-sebentar diliriknya jam tangan warna merah yang melingkar di tangan kirinya. Dania ingin sekali jarum jam berputar lebih cepat. Dania ingin malam segera menjelang. Tadi pagi Raja BBM, katanya nanti malam ia ingin ngomong sesuatu yang sudah lama dipendamnya.

Dania tak sabar ingin segera mendengarkan kalimat indah yang meluncur dari mulut Raja. Jawaban-jawaban elegan sudah disusunnya dengan rapi. Dania tak ingin kelihatan bahwa sesungguhnya ia sudah lama menunggu saat yang mendebarkan ini. Sebenarnya sejak pertama kali bertemu di dunia maya diam-diam Dania sudah memberikan sebagian hatinya untuk Raja.

“Kurang 10 menit.” Batin Dania sambil melihat jam meja di kamarnya. Dania tampak resah. Dania kembali mengulang kalimat jawaban yang hendak disampaikan saat Raja mengungkapkan kata cinta untuknya. Dada Dania bergemuruh, tangannya dingin dan bergetar saat membuka laptop dan mulai menancapkan modemnya. Nervous.

“Ting...” Icon senyum seperti biasa menjadi greeting Raja. Tanpa basa basi panjang, Raja mulai nyerocos menceritakan kejadian-kejadian seru dan lucu di kantornya. Dania sudah tak sabar menunggu janji Raja, namun Dania berusaha mengimbangi, meskipun hatinya bergemuruh.

“Ja, katanya mau bicara sesuatu..” Ungkap Dania penasaran, berusaha menyadarkan Raja dari cerita panjangnya.

“Eh iya, aku janji sama kamu ya?” Jawab Raja ditambah dengan icon senyum. “Sorry, keasyikan cerita..” Tambah Raja.

“Dania, kira-kira sudah 4 bulan ini aku dekat dengan seseorang.” Raja mengawali ceritanya. “Aku merasa cocok sekali dengannya.” “Rasanya cerita apapun kami selalu nyambung.” Imbuh Raja. Jantung Dania semakin berdebar. Tak disangka ternyata Raja sangat romantis. Dia tidak langsung menembak, tapi terlebih dahulu menceritakan kembali saat-saat pertama mereka bertemu. So Sweet. Kalau di depan meja ada cermin, mungkin Dania bisa melihat rona wajahnya yang memerah karena malu.

“Kami bertemu di dunia maya. Hampir tiap malam kami chatting. Dia seorang perempuan yang ceria, cerdas dan mandiri. Hobi kami pun sama.” “Aku sangat nyaman dengannya, rasanya aku tidak ingin berpisah dengannya” Dania semakin tenggelam dalam buaian kalimat Raja. Dania tak sabar ingin mendengar kalimat selanjutnya.

“Dania, rasanya aku sedang jatuh cinta.” Tangan Dania semakin dingin. Seolah Raja benar-benar duduk di hadapannya sambil membawa seikat mawar merah kesukaannya. “Siapakah perempuan yang beruntung itu?” Sahut Dania pura-pura bodoh. Dania tak sabar ingin segera mendengar Raja mengucapkan namanya. Jantung Dania semakin berdetak keras, tangannya dingin.

“Dia bernama Kintan. Saat ini sedang mengambil S2 di London. Besok aku akan terbang kesana menemuinya. Aku sudah tak sabar lagi.” “Sebagai sahabat, kamu mendukungku kan?” “Doakan kami berjodoh ya..” Seolah Raja meminta restu Dania yang dianggapnya sebagai sahabatnya.

Dania lemas. Wajahnya ditelungkupkan di atas meja. Air matanya mengalir deras dari kedua buah kelopak matanya. Dunia rasanya hancur. Harapannya pupus luluh lantak. “Jadi perempuan itu bukan aku” Batin Dania di sela tangisnya. “Jadi Raja berkenalan dengan Kintan di waktu yang hampir bersamaan berkenalan denganku.” Batin Dania mencoba menganalisa lebih dalam. “Jadi selama ini di samping chatting denganku, Raja juga chatting dengan Kintan” Batin Dania terus menganalisa di sela tangis pedihnya. Entah sudah berapa tissue yang hinggap di matanya. Dunia terasa gelap.

Sementara dengan berbinar Raja terus bercerita tentang Kintan. Raja yakin Dania sahabatnya tetap menyimak disana...

Baca lanjutannya ya...>>>>>
27.10.13

Filmku Sayang Filmku Tayang

Diposting oleh diNa |

Masih ingat film Ainun dan Habibie? Entah kenapa tiba-tiba saya teringat kembali ketika saya melewati gedung bioskop tua tidak jauh dari rumah ibu saya di Jogja, saat liburan Idul Adha kemarin. Pikiran saya pun melayang ke belakang, teringat saat itu..

Ketika Film Ainun dan Habibie cetar membahana di seantero negeri, sepertinya secara serentak kita terbangun dari mimpi. Puja-puji bertubi-tubi terus mengisi celah-celah program televisi. Pun sanjungan tak pernah kering mengisi halaman Koran. Cerocos teman dan keluarga bak pemecut yang mendorong kuat saya untuk mengunjungi bioskop. Sudah bermingggu-minggu roll film berputar-putar, namun tak menyurutkan semangat penonton untuk datang, bahkan datang dan datang lagi. Penasaran kian menguat tatkala popcorn dan minuman dingin berpindah ke tangan saya. Bergegas kaki melangkah menuju pintu studio. Ketika film dimulai, saya mencoba mengerem tangan dan mulut untuk tidak menyentuh bekal popcorn dan minuman yang saya bawa. HP sudah terlebih dulu saya silent. Konsentrasi..!!  

Tertawa dan tangis akhirnya usai. Hebat, detail dan cerdas merangkum otobiografi setebal itu menjadi padat ringkas dan sesak oleh muatan pelajaran tentang hidup dan menghargai pasangan hidup. Di luar kerja hebat orang-orang film, sosok Habibie adalah kunci. Keteladanannya sebagai pemimpin rumah tangga, industri hingga negara adalah kekuatan luar biasa. Di luar itu, cara promosi adalah magnet yang mampu menyedot kuat berbagai elemen untuk memberikan apresiasi. Yang tak kalah penting adalah timing yang tepat. Film itu terlahir saat dominasi infotainment mengupas hingga ampas-ampasnya berita perselingkuhan dan perceraian. Ainun dan Habibie, bak embun membasahi kegersangan hidup. Memupus ceritera miring kehidupan rumah tangga, membangun harmoni suami isteri. Harus kita akui, saat ini kita sangat haus pelajaran moral tinggi seperti yang ditunjukkan Ainun dan Habibie. 

Film hebat itu ternyata juga telah membangunkan memori saya tentang sebuah bioskop legendaris di dekat rumah saya, bioskop Permata di Jogja. Salah satu bioskop legendaris tadi kini sudah lama mati. Bahkan nama bioskop lambat laun dikalahkan oleh ketenaran bakul gudeg yang nempel di emperannya. Dulu merupakan griya pencerahan pikir, kini tinggal pencerahan perut semata. Seandainya... Ini benar-benar pangandaian... Apabila produser film ketat dalam memproduksi film, seandainya produksi film tidak hanya bermuara pada pundi-pundi uang saja, saya yakin Film Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. 

Berkali-kali saya "dikapokkan" oleh produksi asal-asalan. Mungkin saya tidak sendirian. Kapok masal menjadikan kita ogah berkunjung ke bioskop. Kapok masal membuat apriori untuk film made in anak negeri. Alhamdulillah, akhir-akhir ini banyak film anak negeri dengan kualitas tinggi. Bagi saya wajib untuk datang mengapresiasi. Memberikan penghargaan adalah nutrisi bagi para awak perfilman kita. Bahkan saya jadi teringat tentang bioskop Permata Jogjakarta dekat rumah saya waktu kecil. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengais rejeki dari sana tidak perlu pensiun dini. Tidak perlu di PHK. Mereka bekerja untuk kehidupan keluarga. Bisa dibayangkan, berapa bioskop di Indonesia yang harus kukut. Berapa jumlah nyawa yang hidup tertangggung dan merana. 

Bukan hanya produksi film yang berkualitas. Kita juga butuh para awak pelakon yang mampu bersaing. Terpenting, festival film kita harus hebat dan terhormat. Disinilah apresiasi yang akan dibayar oleh sineas dengan maha karya bernilai tinggi. Berharap terus lahir film hebat untuk “kesehatan” dan usia panjang film kita. Semoga bioskop-bioskop lokal sebagai ujung tombak menghidupkan kembali proyektornya.

Baca lanjutannya ya...>>>>>
14.5.13

Super Woman Indonesia

Diposting oleh diNa |



Foto diambil dari sini

"Rumah di Dalam Hutan Terlarang" adalah posting terbaru di blog saya. Seperti mendapat durian runtuh, undian, dan segala yang menyenangkan, hati saya sangat bahagia, surprise, kaget bercampur jadi satu. Desi, buah hati yang "terlahir" bukan dari rahim saya ternyata juga mempunyai minat di bidang menulis. Inilah anak Allah yang akhirnya melengkapi Kartu Keluarga kami setelah 16 tahun menunggu. Kini saya "berani" mengklaim sebagai perempuan seutuhnya.

Ada banyak perubahan suasana di kantor pertama (baca : rumah). Dulu, setiap pagi saya hanya membantu menyiapkan sarapan dan kebutuhan pagi suami. Kini rumah tangga kami benar-benar komplit. Setiap pagi saya bangun lebih awal karena Desi perlu atensi. Mulai dari membangunkan sholat subuh dan menyiapkan keperluan sekolah sampai mengantarkan Desi ke pintu gerbang saat mobil antar jemputnya datang. Setelah itu baru saya berangkat ke kantor kedua (baca : kantor).

Ikhlas dan tetap menjaga passion adalah ramuan mujarab agar saya tetap mempunyai performansi yang bagus, baik di kantor pertama maupun kantor kedua. Anak dan suami, merupakan kolaborasi dua suplemen yang "memaksa" saya harus "juara" setiap harinya. Harus selalu memberikan yang terbaik untuk kedua kantor saya. Ada satu lagi suplemen yang harus tetap hidup agar saya lebih "hidup", yaitu blog. Bagi saya blog adalah trek joging alias media untuk berlari-lari. Blog mampu menampung segala pelarian suasana hati. Kadang kantor yang satu sedang dalam suasana kurang menyenangkan namun kantor yang lain memberi hiburan. Kadang juga seperti sudah janjian, kedua kantor memberi kontribusi yang kurang menggairahkan. Blog-lah tempat pelarian saya.

Awalnya, saya pikir blog hanya "ember" tempat muntahan masalah hidup. Ada perasaan plong ketika sampah masalah sudah termuntahkan. Berkembang, banyak yang memuntahkan sampah masalah namun satu paket dengan pemecahannya. Disinilah saya mulai mempunyai hobi berselancar. Banyak pemecahan masalah menjadi inspirasi yang tidak menggurui. Coba hitung berapa jumlah pundi-pundi pahala yang diraupnya. Semakin banyak orang membaca dan termotivasi, tentu semakin banyak pula pahala yang didapat. Subhanallah. Inilah nikmatnya berbagi.

Semakin sering berselancar saya mendapatkan "obat pencahar". Kebuntuan hidup menjadi terhibur, bahkan tersolusi disini. Saya mengumpamakan blog seperti play ground. Tempat yang indah dan menyenangkan untuk bermain. Bahkan bermain yang edukatif. Benar-benar syaraf-syaraf yang mulai malas mampu dihidupkan kembali untuk terus belajar. Otak tak henti-henti dirangsang untuk ikut berpikir dan beropini.

Semakin hari, semakin banyak saya menemukan emak-emak bloger yang kreatif. Kemampuan memilih angle, gaya bertutur hingga opini kelas tinggi menjadi jurus wajib para emak. Media digital inipun akhirnya mampu diberdayakan sebagai media menjaring rejeki. Banyak atensi dan apresiasi bagi emak-emak kreatif ini. Saya pun pernah merasakan perasaan berbunga-bunga saat beberapa iklan hinggap di blog saya.

Saya bersyukur diterima di KEB (Kumpulan Emak Blogger). Komunitas positif yang mengajarkan saya untuk bersilaturahmi dan edukasi. Otak yang penuh oleh tugas dan kewajiban di dua kantor butuh stimulus khusus untuk memasukan "ajaran" dan ilmu hidup dengan mulus. Blog mampu untuk memenuhi kebutuhan itu. Tidak hanya sekedar aktualisasi dan menghirup rejeki, blog adalah alat perjuangan bagi kaum perempuan modern saat ini. Karya yang ada tidak sekedar cerminan hati, tapi juga opini. Kita wajib berterima kasih kepada Kartini dan teknologi yang terus berkembang. Melalui media digital tanpa embel-embel jarak, ruang dan waktu, kita bisa menyuarakan perubahan gaya dan kebutuhan perempuan modern tanpa harus meninggalkan kecintaan pada keluarga dan kantor utama.

Era digital adalah momentum perubahan "budaya" perempuan Indonesia. Media ini harus ditangkap dengan cerdas dan kreatif sebagai corong beberapa kegiatan dan perasaan. Terlebih, semakin hari harga gadget semakin terjangkau sebagai modal awal alat bersilaturahmi, beropini dan berjuang.

Ajang Pemilihan Srikandi Bloger 2013 adalah wujud nyata dari perjuangan kaum perempuan. Disini
KEB berperan sebagai wadah aktualisasi yang mengedukasi. Pemilihan ini tidak sekedar kompetisi namun tetap menyertakan silaturahmi. Ada perasaan bangga menjadi perempuan Indonesia. Kedepan perempuan Indonesia semakin dihargai bukan hanya karena bodi tetapi kecantikan hati yang dibarengi dengan IQ yang tinggi. Berharap, blog akan menjadi "lembaga legislatif" alias perwakilan suara rakyat perempuan. Bersuara lantang dan berprestasi untuk keluarga dan negeri cukup melalui laptop, notebook, komputer, tablet bahkan telepon genggam.

Ajang bergengsi yang disponsori oleh Acer, Rinso dan brand lainnya ini diselenggarakan dalam rangka ulang tahun KEB yang pertama. Event ini sangat disambut antuasias oleh anggota KEB, terbukti 150 orang tercatat mendaftar dalam pemilihan ajang bergengsi ini. Mereka adalah perempuan blogger dengan beragam profesi. Setelah melalui seleksi administrasi diperoleh 50 besar Calon Srikandi Blogger 2013. Tepat pada Hari Kartini 2013, dipilihlah 10 Finalis Srikandi Blogger 2013. Puncak acara penganugerahan Srikandi Blogger 2013 diselenggarakan pada tanggal 28 April 2013 di Gedung F Kemendiknas Jl. Sudirman, Jakarta. Akhirnya dipilihlah satu pemenang yang berhak menyandang predikat Srikandi Blogger 2013 yaitu Alaika Abdullah, disamping pemenang pendamping lainnya.

Meskipun ajang ini hanya memilih satu pemenang Srikandi Blogger dan beberapa pemenang pendamping, namun saya menganggap bahwa semua anggota KEB adalah Srikandi Blogger. Perempuan yang telah mampu mengaktualisasikan dirinya di era digital. Perempuan yang mampu memberikan informasi, pemikiran, kisah inspiratif bahkan penghiburan melalui media digital.

Srikandi Bloger harus terus digaungkan. Semakin bergaung, semakin besar mewadahi opini dan cerminan perempuan Indonesia seutuhnya.

Jadi, Anda atau Saya Srikandi Blogger, Super Woman Indonesia berikutnya? :)

Baca lanjutannya ya...>>>>>
4.5.13

Rumah di Dalam Hutan Terlarang

Diposting oleh diNa |

Teman-teman... Posting kali ini dimeriahkan oleh tulisan Putri saya, Desi - 13 tahun. Berhubung belum mempunyai blog pribadi, untuk sementara desi mengaktualisasikan dirinya melalui blog ibunya. Selamat menikmati.. mohon masukannya ya.. :)

Pada suatu hari di sebuah sekolah populer di suatu kota, yaitu SMP NUSA 7. "Hai, namaku Lucy, dan ini teman-temanku, Clara, Jack, Albert, Edo, dan Bunga" Di suatu pagi, ada pengumuman bahwa murid kelas 1-B akan ada kegiatan camping di hutan. Clara langsung memberitahu bahwa sebentar lagi kami akan mengikuti kegiatan camping di hutan. Jack si penakut langsung terlihat girang. Spontan kami bertanya kepada Jack, "Jack kenapa kamu terlihat begitu senang?" Jack pun menjawab ,"Apa kalian tidak senang kita akan camping?" "Bukan kami tidak senang, tapi... " Jawab kami hampir bersamaan. "Kenapa?" lanjut Jack penasaran "Karena kita akan dibagi dalam beberapa kelompok, kami kuatir terpisah." Ucap Lucy tampak gelisah "Tenang saja Lucy, kita pasti tidak akan terpisah." Jack berusaha meyakinkan "Kalau begitu kita harus segera bersiap." Lucy mulai tampak tenang.

Mereka akhirnya kembali ke rumah masing-masing mempersiapkan peralatan yang harus dibawa. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, tiba saatnya kami harus berkumpul sebelum berangkat ke lokasi camping. Kami segera melihat papan pengumuman untuk mengetahui pembagian kelompok yang sudah ditentukan. Betapa gembiranya, ternyata kami masuk dalam satu kelompok yang diketuai oleh Albert. Kami segera berlari ke lapangan dengan semangat. Sesudah diberi amanat oleh kepala sekolah, kami semua berdoa menurut agama masing-masing untuk keselamatan selama camping. Setelah itu semua anggota masuk ke dalam bus.

Kami menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Sesampai di tempat tujuan, masing-masing kelompok langsung mendirikan tenda. Setelah itu setiap kelompok diberi tugas masing-masing. Kelompok kami mendapat tugas mencari kayu bakar di hutan. Dengan semangat kami pun bergegas pergi menyusuri hutan mencari kayu bakar. Waktu demi waktu pun berjalan, tanpa disadari ternyata kami sudah jauh dari lokasi perkemahan. Kami pun memutuskan untuk kembali, tetapi kami tersesat dan tidak tahu jalan kembali ke tempat perkemahan. 

Clara merengek ingin pulang, begitu pun dengan Jack. Albert mencoba mencari jalan keluar tetapi tetap tidak ketemu. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan? Bunga tiba-tiba berteriak karena dia mendengar sesuatu yang aneh dan menyeramkan. Kami pun kaget mendengar teriakan Bunga. Edo langsung bertanya kepada Bunga "Apa yang kamu dengar Bunga?" Bunga pun menjawab "Aku mendegar suara yang aneh dan menyeramkan." Semua terlihat bingung, Albert pun langsung berkata "Hentikan semua lelucon itu Bunga!" "Hey, siapa yang sedang bercanda!" Intonasi suara bunga agak meninggi. Pertengkaran antara Bunga dan Albert pun tak terelakan. Aku berteriak, "Stop!" "Apa kalian tidak memahami keadaan kita sekarang?" Semuanya terdiam. Tiba-tiba Jack membaca papan yang menempel pada sebuah pohon. "Dilarang memasuki hutan terlarang ini!" Suaranya lantang. Kami kaget dan langsung melihat di sekitar kami. Albert langsung bertanya "Berarti kita dilarang memasuki hutan ini?" Semua mengangguk. 

Tiba-tiba Clara melihat ada sebuah rumah yang berada di tengah hutan terlarang. "Aku tidak pernah melihat rumah yang sangat megah berada di tengah hutan." Cakap Edo. Kami langsung memasuki rumah tersebut. Akhirnya Albert membagi kami dalam beberapa kelompok. Edo dan Bunga di lantai atas, Clara dan Jack di ruang tengah, Albert dan aku di ruang tamu. "Jika ada sesuatu yang terjadi berikan simbol atau menelpon." Seru Albert. Spontan kami mengaguk dan langsung menuju tempat masing-masing. Tiba-tiba Bunga melihat sesosok wanita berdiri di depan pintu warna hijau. Bunga pun menghampirinya, namun tiba-tiba wanita itu menghilang begitu saja. Bunga langsung berteriak, Edo pun menghampirinya dan bertanya "Ada apa Bunga?" Bunga menjawab "Tadi ada sesosok wanita berdiri di depan pintu ini" Seru bunga sambil menunjuk pintu berwarna hijau. "Dia memakai baju berwarna putih, rambutnya panjang menutupi wajahnya, berkulit putih, dan kakinya tidak menempel tanah." Edo pun langsung tegang dan membawa Bunga ke lantai bawah. Clara dan Jack ternyata mengalami hal yang sama, mereka melihat sesosok anak kecil membawa boneka kayu. Clara dan Jack pun berteriak dan langsung pergi dari tempat itu. Albert dan aku mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Kami melihat sesosok laki-laki berbaju putih, tinggi, besar dan tubuhnya melayang. Aku dan Albert kaget bukan kepalang. Kami pun berteriak sambil berlari. 

Akhirnya kami semua bergegas keluar dari rumah itu. Kami saling menceritakan kejadian masing-masing. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah itu?" Tanya Edo. Kami semua menggeleng kepala. Tiba- tiba ada seorang kakek yang menghampiri kami. "Apa kalian tidak merasa takut memasuki rumah itu?" cakap kakek. Kami semua bingung, tidak tahu apa yang dimaksud oleh kakek tersebut. "Maksud kakek apa?" tanyaku. Kakek itu pun langsung menceritakan peristiwa yang pernah terjadi di rumah itu. "Dahulu kala rumah ini dihuni oleh sebuah keluarga yang sangat damai, namun tiba-tiba ibunya yang telah menjanda ingin menikah lagi." "Ayah tirinya ternyata sangat kejam, dia ingin membunuh istri dan anak-anak tirinya untuk mendapatkan hartanya." Lanjut si Kakek. "Setelah membunuh keluarganya, ia membawa pergi anaknya yang masih bayi, keluarga itu pun ingin membalas dendam ayah tirinya, dan ingin merebut anaknya kembali dari tangannya." Seusai bercerita tiba-tiba kakek itu memberikan amanat "Nak, segeralah pergi dari tempat ini sebelum matahari terbenam karena setiap orang yang masuk ke hutan ini tidak pernah kembali dengan selamat." Kakek itu pun langsung menghilang begitu saja. Kami kaget dan mulai bertanya-tanya "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Ucap kami hampir bersamaan. Panik dan takut mengelilingi hati kami. 

"Bagaimana ini?" tanyaku. Semua menggelengkan kepala. "Hanya ada satu cara, kita harus kembali sebelum matahari tenggelam." Seruku. Semuanya setuju dan kami segera berlari meninggalkan hutan tersebut. Namun tiba-tiba celana Edo sobek, kami pun tertawa terbahak-bahak, kami tidak menyadari bahwa sebentar lagi matahari akan terbenam. "Hei.. lihat, matahari sebentar lagi akan terbenam" Teriakku. Kami langsung berlari terengah-engah. "Hei, bagaimana dengan celanaku guys?" tanya Edo terlihat sangat malu. "Sudahlah sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahas celanamu Edo" cakap Bunga. Kami kembali melanjutkan perjalanan, tak terasa hari mulai terlihat gelap dan matahari mulai terbenam. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat. "Guys, bagaimana cara kita keluar dari sini?" tanyaku. Semua terlihat bingung. "Mungkin kita harus mencari jalan lain untuk memecahkan masalah ini." jawab Albert. Tiba-tiba Edo merasa ada tangan yang memeluknya, ia langsung terbangun, namun ternyata itu hanya mimpi. 

Hari kembali pagi, kami pun meneruskan perjalanan menuju ke perkemahan. Meskipun kami telah berjalan berjam-jam dan hari mulai menjelang senja, namun kami merasa hanya mengelilingi rumah megah itu. "Bagaimana ini?" tanyaku. Kami mulai panik dan mencoba mencari jalan keluar. "Hey guys bukannya kata kakek yang kemarin kita temui, kita harus meninggalkan tempat ini sebelum matahari terbenam, jika tidak, kita tidak akan selamat." Cakap Clara. Akhirnya semua mencoba untuk mencari si kakek. "Kita akan mencari dimana?" tanya Jack. "Mungkin jika ia sakti, ia langsung bisa berada di sini" canda Bunga, "Hey, sudahlah kita harus bergerak cepat sebelum terlambat" Albert mengingatkan kami. "Kita tidak menemukan kakek tersebut, hanya ada satu cara, yaitu memasuki rumah itu." Lanjut Albert. 

"Aku tidak mau memasuki rumah berhantu itu lagi" tolak Jack. Semua langsung memandang Jack dengan wajah marah. Jack pun tidak berani menolak. Akhirnya kami memasuki rumah rumah itu kembali. Kakek itupun kembali muncul dan langsung menghampiri kami. "Nak, kalian belum meninggalkan tempat ini?" tanya kakek itu. “Belum kek, kami terlambat meninggalkan tempat ini" jawabku. "Hanya ada satu cara lagi, kalian harus menemukan jasad bayi yang di bawa oleh ayah tirinya" cakap kakek itu. Kami kebingungan, tiba-tiba kakek itu menghilang. Kami pun langsung mencari jasat bayi tersebut ke dalam hutan. Albert langsung membagi kelompok "Aku tidak ingin memegang mayat" rengek Jack. "Jack tidak ada cara lain lagi" cakap Albert. "Karena ini satu-satunya cara yang terakhir." Lanjut Albert. 

Kami langsung berpencar, tiba-tiba Bunga merasa ada seseorang yang mengikutinya "Edo apa kamu tidak merasa ada yang mengikuti kita?" tanya Bunga "Tidak" jawab Edo “Lho mengapa hanya aku yang merasakannya?" batin Bunga. Clara dan Jack pun kembali melihat anak kecil yang mereka temui kemarin. Mereka pun langsung berlari. Aku dan Albert tiba-tiba melihat kain di atas lumpur, kami pun langsung menarik kain tersebut. Ternyata di dalamnya ada jasad bayi yang mereka cari. Kami pun segera mencari teman-teman. Akhirnya kami bertemu di depan rumah megah berhantu itu. Kami masuk ke dalam rumah itu dan memandikan jasad bayi tersebut dan meletakannya di ranjang. Setelah selesai tiba-tiba ada "sekelompok keluarga" yang mendekati kami dan mengucapkan terima kasih. Ternyata mereka adalah "keluarga" yang dibunuh oleh ayah tirinya. Kami pun segera meninggalkan hutan tersebut. 

Tiba-tiba kami telah berada di lokasi perkemahan. Kami sangat senang karena kami semua selamat. "Hey, kalian dari mana saja?" tanya ketua camping. "Ceritanya sangat panjang" jawab kami hampir bersamaan. Akhirnya camping pun berakhir dan pengalaman itu akan menjadi pengalaman yang sangat istimewa di hati kami. Kami pun akhirnya sering mengunjungi hutan itu untuk memberikan doa kepada keluarga yang tinggal di rumah itu.


Penulis : My beloved Desi - 13 tahun

Baca lanjutannya ya...>>>>>
18.1.13

Semangat KEB, Semangat Saya

Diposting oleh diNa |


Saya berkenalan dengan blog sekitar tahun 2008. Salah satu majalah perempuan lah yang membuat saya akhirnya jatuh cinta dengan dunia blog. Kupasan tentang para blogger perempuan dengan maha karyanya telah mencuri perhatian saya. Seperti disiram bensin, hati saya membara ingin seperti mereka. Kalau mereka bisa, kenapa saya tidak? 

Saat pertama kali ngeblog saya berjanji dalam hati akan posting seminggu sekali. Ternyata susah. Saya tidak bisa membagi waktu dengan rutinitas saya. Akhirnya sebulan dua kali, sebulan satu kali, bahkan pernah tiga bulan baru posting, hehehe.. Tak apa, yang penting saya masih mempunyai semangat untuk ngeblog.

Ngeblog membuat saya kenal dengan beberapa teman, terutama yang berasal dari Jawa Timur. Entah, mungkin karena merasa berasal dari daerah yang sama, kami menjadi lebih cepat akrab. Meskipun kami telah lama ber-haha hihi di dunia maya, namun belum pernah sekali pun kami kopdar, hehehe..

Dari teman saya Rosa lah akhirnya saya masuk ke dalam group BBM Emak2 Blogger (thanks to Rosa). Singkat cerita saya akhirnya di-invite mak Mira ke dalam group Facebook Kumpulan Emak2 Blogger (KEB). Meskipun telah resmi masuk di group KEB, tapi saya hampir tidak pernah menyambanginya. Bukan apa-apa, saat itu saya memang telah jarang bermain FB.

Hingga pada suatu saat saya mendapat broadcast BBM dari Mak Mira Sahid mengenai proyek antologi yang dibuat KEB untuk menyambut ulang tahunnya yang pertama. Waaahhh... saya nafsu banget pengen ikutan. Siapa tahu impian saya bisa terwujud. Yup, saya pengen sekali mempunyai buku, meskipun itu buku kumpulan cerita bersama beberapa penulis lainnya. Sejak itulah saya sering nengok group KEB di FB.

Jujur, proyek antologi "Ngeblog Terapi Jiwa" membuat saya semakin bersemangat menulis. Setiap pulang kantor, meskipun capek dan kantuk menyerang, saya selalu menyempatkan diri merampungkan tulisan untuk "melamar" menjadi bagian dari 1st project KEB. Akhirnya tulisan saya bertitle "Tuhan Membaca Blog Saya" klar, puaaass... Yang membuat hati saya lebih puas lagi, tulisan saya terpilih untuk mengkontribusi proyek antologinya KEB yang pertama bersama 24 penulis lainnya. Duuuhhh... senangnya.

Sekarang hampir setiap hari saya berusaha menyempatkan diri bertandang di group KEB. Entah di sela-sela break kerja atau setelah pulang kerja. Semakin sering berkunjung, saya semakin berdecak kagum. Group ini mampu mengumpulkan para perempuan hebat dalam satu wadah. Para emak yang produktif, melek teknologi dan berwawasan luas. Bahkan banyak emak yang tulisannya sering nongol di media, sering menang lomba, pun ada beberapa yang sudah menerbitkan buku. Salut!

Meskipun saya belum banyak kenal dekat dengan emak2 KEB, namun saya mendapatkan semangat baru dan ilmu baru dari group ini. Semoga KEB semakin melebarkan sayapnya sampai ke kota-kota besar lainnya, termasuk Surabaya. Semoga konsep KEB semakin berwarna tanpa meninggalkan core concept yang sudah dibangun. Semoga KEB semakin produktif menerbitkan buku, dan semoga KEB semakin eksis dan sukses menyebarkan virus ngeblog buat para emak.

Yang tak kalah penting, semoga bersama KEB ilmu menulis saya semakin bertambah luas, seluas persahabatan dengan para emak, peluuukkkss...

Happy B’day KEB, selamat ulang tahun wadah emak-emak hebat...

Baca lanjutannya ya...>>>>>
Subscribe