Bukan sedang ngajak ngomongin segerombolan pria bermusik asal Lampung yang bercirikan rambut ‘polem’ alias poni lempar. Group yang ngetop selain lagu, juga karena jepitan kelompok nyiyir yang malah mampu menyihir.
Saya hanya ingin ngomongin soal kangen. Karena saya sendiri bingung, sebenarnya kangen itu apa... Banyak orang bilang kangen adalah soal rasa. Walaupun begitu proses pendeteksiannya tidak melalui rongga mulut dengan penampang lidah sebagai alat perasa. Alat pendeteksi yang paling pas mungkin hati. Organ yang satu ini sangat dipengaruhi oleh tingkat emosi. Coba bayangkan sendiri soal kangen ini, karena saya takut berteori.
Perasaan ini kadang muncul saat hati sedang gundah, resah atau saat tiba-tiba merasa sendiri dalam pasrah. Saat melow datang, inilah musim kangen tiba. Tidak semua perasaan kangen dapat terobati begitu saja. Meskipun sarana telekomunikasi merajalela, tapi bukan itu jawabnya. Seringkali melamun menjadi solusinya.
Kangen? Rindu? Kata orang sama saja
Sama-sama bikin pikiran melayang-layang
Rekaman tawa, canda, murka muncul bergantian di depan mata
Andaikan saja masa bisa kembali diputar ulang
Kangen, begitukah?
Sumber Gbr : eykahamasuba.blogspot.com
Bagi umat muslim, pasti semua sudah tahu tentang makna Qurban. Namun, karena pemahaman saya tentang agama masih jauh dari sempurna, saya ingin berbagi melalui jendela ini sisi lain dari berkorban.
Jelas, yang namanya berkorban tidak lepas dari kata ikhlas, atau orang Jawa bilang legowo. Bisa saja mata menyuruh otak agar tangan kita merogoh dompet dan melalui tangan eksekusi berkorban berlangsung, tapi ternyata hati kecil kita berontak, “Kok banyak juga ya..” atau “Jangan-jangan tidak digunakan sebagaimana mestinya..” Ternyata sulit juga ya berkorban dengan ikhlas.
Hari Minggu kemarin saya ke klinik medis gara-gara rasa serak menyeruak di tenggorokan. Batuk terus menerus membangunkan tidur. Saat panggilan dokter umum memecah sepinya klinik di hari Minggu, bersamaan itu bocah kecil meraung-raung menangis dalam gendongan sang baby sitter, sementara itu papanya sibuk mengurus administrasi pendaftaran. Tidak tega dengan tangisan si bocah, saya putuskan untuk mengalah mendahulukan anak tersebut. Tidak berapa lama kemudian suara tangis bocah kembali bergema di pelukan sang pengasuh keluar dari ruang praktek dokter. Saya berpikir tidak lama lagi papanya pasti juga ikut keluar. Namun tunggu tinggal tunggu, ternyata papanya tidak kunjung keluar juga. “Jangan-jangan papanya gantian konsultasi”, gumam saya sedikit geram. Jawaban suami pun membuat saya jadi sedikit terhenyak.. “ Tadi minta si anak kecil masuk duluan, sekarang giliran lama kok ngedumel..”. Nah lo.., ternyata berkoban itu tidak mudah juga ya.. Padahal ini baru sebagian hal kecil dalam kehidupan!
Berkorban biasanya dikaitkan dengan menyerahkan sesuatu yang berharga kepada orang lain. Bisa berupa cinta, harta, nyawa, waktu, ilmu atau yang lainnya. Kita harus menerima keputusan yang tidak sesuai dengan idealisme kita, itu berkorban. Pengennya nonton film A, tapi jadinya nonton film B sesuai keinginan pasangan kita, juga berkorban. Transfer ilmu yang kita punya kepada junior kita, juga bagian dari berkorban. Meluangkan waktu kita untuk mendengarkan curhat teman, ini pun berkorban.
Tanpa sadar sebenarnya kita sudah banyak melakukan aktivitas berkorban. Kalau hal ini biasa kita lakukan dengan ikhlas untuk orang-orang di sekeliling kita yang membutuhkan niscaya hidup kita semakin membumi penuh arti. Bahagia. Bukankah sudah banyak kenikmatan yang diberikan olehNya untuk kita?
Sedang belajar berkorban juga seperti saya?
Sumber Gbr : lilblog.multiply.com
Aturan baku ke Madura harus melalui Pelabuhan Perak, menumpang Ferry menuju Kamal Madura dengan durasi melaut kira-kira 30 menit. Mau nyaman? Kompromi dengan sopir untuk tetap menyalakan mesin mobil agar AC tetap berhembus sejuk. Setelah berlabuh, mulailah mobil menyentuh aspal jalan yang sempit, mirip dengan jalan-jalan di Bali. Hati-hati jangan ngebut, karena angkot di sana kadang-kadang bisa berhenti mendadak, memotong jalan. Hati-hati juga banyak pasar membelah jalanan yang sempit dan agak bergelombang. Banyak hal yang ingin saya bagikan gratis untuk teman-teman melalui Jendela rumah saya.
Sampang. Inilah kabupaten kedua setelah Bangkalan. Waktu tempuh dari Surabaya kurang lebih 2 jam. Setelah mengunjungi pantai Camplong, jangan lupa mampir ke Bebek Songkem. Ceritera ‘mak nyus-nya’ kuliner ini sudah menyebar luas. Banyak program kuliner yang mengulitinya. Bahkan pada saat saya makan siang di sana salah satu TV swasta nasional sedang mengupas makanan ini, beruntung saya dapat menghindar dari target wawancara, karena saya tidak ingin terkenal, hehehe.. Keistimewaan makanan ini karena bebek yang telah dibalut dengan berbagai macam bumbu dikukus dalam bungkus daun pisang. Bagi yang tidak suka bebek seperti saya bisa memesan ayam. Bebek atau ayam yang sudah dikukus akan lebih enak lagi kalau digoreng, hhhmm… bener-bener mak nyuuuss.. Nah, sebagai pencuci mulut, kita bisa membeli jambu air yang terkenal sangat manis rasanya.
Madura juga terkenal dengan garam, karapan sapi, batik dan ramuan Maduranya. Tapi disini saya tidak akan membahas tentang karapan sapi, garam atau dasyatnya ramuan Madura (hmm.. pasti deh pada tau semuanya), saya hanya akan sedikit mengupas mengenai uniknya batik Madura.
Batik Madura agak sedikit berbeda dengan batik-batik lainnya. Di banyak daerah, kebanyakan batik didominasi warna natural kecoklatan, namun tidak di Madura. Batik Madura kebanyakan didominasi warna cerah merah dan hijau, warna-warna yang dinamis. Di Bangkalan konon ada perkampungan penghasil batik, tepatnya di daerah Tanjung Bumi. Sayang saya belum sempat kesana. Namun di Pamekasan ternyata saya menemukan satu rumah penghasil batik Madura. Begitu melihat batik-batik terpampang rasanya jadi lapar mata. Harga kain sarung hanya sekitar Rp. 30.000 an, kain baju yang berukuran lebih kurang 3 m tidak lebih dari Rp. 65.000,-. Batik sutera berikut kerudungnya hanya berkisar Rp. 200.000,- an. Harga batik memang tergantung jenis kainnya. Sayang, saat itu hari sudah sore, jadi saya dan teman tidak punya banyak waktu untuk mengaduk-aduk lebih dalam lagi, karena kami tidak mau terlalu malam sampai di rumah.
Setelah durasi 4 - 5 jam dari Surabaya, kita akan sampai di Sumenep. Kabupaten paling timur dari pulau ini. Disini terdapat pantai yang kabarnya lebih indah daripada Kuta Bali. Disini pulalah konon pusat Kerajaan di Madura. Di Sumenep memang banyak obyek wisata dan bangunan bersejarah, salah satunya masjid Agung Sumenep. Entah kenapa saya selalu berusaha menyempatkan sholat disini. Masjidnya kuno, arsitekturnya unik, karena merupakan kolaborasi budaya Madura, Eropa dan Cina. Konon masjid ini sudah berusia ratusan tahun. Sholat di masjid ini rasanya adem dan tenang. Angin semilir mengantarkan saya bersujud padaNya.
Meskipun panasnya cukup menyengat namun Madura menyimpan aura yang luar biasa. Tertarik ke Madura?
Baca lanjutannya ya...>>>>>
Mumpung bulan Syawal belum lewat, mohon maaf lahir batin juga buat semua yang sudah mampir, semoga kita kembali ke Fitri.
Lebaran kali ini terbilang sangat asyik. Keluargaku bisa berkumpul lengkap. Kakak laki-lakiku yang 2 tahun ini absen karena kesibukannya dapat berpartisipasi dalam gathering tahunan keluarga. Jujur, bukan kakakku yang membuat suasana seru, tapi dua anak cowoknya, raka (9 tahun) dan rangga (5 tahun).
Aku mudik duluan, sampai di Jogja hari Sabtu sore tanggal 27 September. Minggu pagi, Raka dan Rangga bersama kedua orang tuanya sudah memberi warna suara anak-anak diantara dominasi suara dewasa di rumahku. Ketika kelelahan sudah menghilang, dua makhluk ini berhasil membuat ibuku sedikit panik dan berkali-kali meneriakan kata awas dan himbauan lainnya manakala barang-barang di rumah diacak-acak dijadikan mainan.
Minggu, tanggal 28 Sepetember sore, penghuni rumah bertambah. Adikku datang dengan anaknya Rafi (6 tahun) plus 'pawang'nya. Kini, pengacakan barang-barang semakin seru dengan kolaborasi 3 jagoan. Dua dari Surabaya plus satu jagoan Jakarta.
Ibuku adalah orang yang sangat detail soal kebersihan dan kerapihan rumah. Tidak salah, kalau rumah Belanda yang aku tempati tetap kelihatan seperti Noni-Noni cantik yang malas beranjak tua. Namun, kerapihan rumah yang terjaga menjadi tak berdaya dengan intervensi 3 jagoan yang berlabel cucu.
Selasa pagi, suamiku sampai di Jogja. Selasa sore kakak tertuaku ikut bergabung bersama suami dan anak semata wayangnya, Dito. Rumah Belanda tempat kami tinggal semasa kecil rupanya tidak cukup lagi menampung kami yang sudah berkeluarga dan beranak pinak. Jadi terpaksa sebagian dari kami harus tidur di hotel yang tidak jauh dari rumah.
Dito berusia jauh lebih tua, sehingga posisinya menjadi 'kepala suku'. Formasi pun menjadi lengkap. Terpancar perasaan senang dari raut wajah ibuku melihat polah tingkah cucu-cucunya. Mbak Yah yang sehari-hari membantu ibu di rumah pun memilih tidak Lebaran di Wonosari tumpah darahnya. Rasa tulus dalam balutan bisnis bisa jadi bagian dari strategi tahunannya. Buktinya, aku merasa wajib dan ikhlas membawakan baju lebaran untuk dia dan kedua anaknya, plus salam tempel yang diikuti dua kakakku plus adikku. Berbagi adalah kudu di hari Lebaran. Mbak Yah memilih tetap tinggal bersama, hingga wajahnya selalu sumringah.
Walaupun ada beberapa bagian keluarga yang 'terpaksa' tidur terpisah, namun hari Rabu jam 06.00, semua sudah kumpul di rumah. Tujuannya adalah Sholat Ied bersama. Setelah semua siap, mobil-mobil yang masih lelah menempuh ratusan kilometer itu meluncur membawa keluarga kami menuju Alun Alun Lor. Jam masih menunjukan 6.30, namun akses menuju Alun Alun Lor, halaman utara Keraton Jogja tempat Sholat sudah macet. Kami memilih parkir di Jln. Brigjen katamso. Jauh?? Lumayan. Kelompok usia 5 tahun menempel orang tua masing-masing, bersiap-siap minta gendong. Saya pun menempel ibu memapah dalam suasana kangen. Kami berjalan bersama menembus rangkaian mobil parkir dan derap kaki jamaah lainnya.
Puluhan fakir miskin menjulurkan tangan menyapa. Bersamaan pula pedagang makanan, balon, minuman bersiap menerima limpahan rejeki. Termasuk bau menyengat sate gajih yang terus dikipas dengan aroma berhamburan terdorong angin. Mbok-mbok bakul penjual telor merah menor juga sudah duduk simpuh menyapa para jamaah.
Sesampai halaman Alun-Alun Lor Kraton Jogja, keluarga saya pun terpencar berdasarkan gender. Kelompok laki-laki meyeruak maju melewati lautan debu. Hujan yang belum turun menjadikan alun-alun dijauhi rerumputan hijau dan berganti lautan debu nan gersang. Sedangkan, kelompok perempuan ada di belakang.
Selesai Sholat Ied, kembali keluargaku dipersatukan oleh letak parkir mobil. Tidak ada yang berkeinginan jalan duluan. Bukan tidak berani, namun semuanya menunggu kehadiran Ibu. Hormat? Pasti. Tapi yang lebih pasti ibu ditunggu karena membawa kunci rumah. Iring-iringan mobil kembali menuju ke rumah. Sesampai di rumah, peluk cium dan bersalaman menyampaikan rasa maaf berbaur dari usia muda ke saudara yang lebih tua. Setelah selesai, barulan pesta dimulai.
Ketupat dibelah dan dipotong. Selanjutnya Opor ayam yang diikuti sambal goreng disiramkan di atasnya. Satu persatu piring yang telah berisi makanan khas Lebaran itu diambil pengantri dan mulai dinikmati sambil bercengkrama. Jujur, momen inilah yang paling aku suka. Kumpul dan menikmati masakan ibu yang puluhan tahun selalu menemani Lebaranku.
Setelah makan bareng klar, saatnya 'open house' dimulai. Puluhan paket makanan kecil dan uang jajan berpindah ke tangan-tangan kecil dengan semangat kebersamaan di hari Lebaran. Setelah itu hilir mudik tetangga dan saudara mampir di rumah ibu, bersilaturahim dan saling bermaafan.
Seminggu benar-benar kepala jauh dari rutinitas dan target perusahaan. Namun target yang terbeban adalah hunting makanan, jalan-jalan dan beli oleh-oleh buat teman-teman karena harus menembus macetnya Yogyakarta yang diserbu oleh para pemudik yang datang dari berbagai kota. Namun beberapa macam makanan sudah berhasil saya taklukan, dari berbagai soto khas Jogja, mie godog, kupat sayur- sate lembu dan gudeg yang akan saya kupas setelah posting ini. Tunggu yaa.. :)
Pulang kampung. Asyik. Inilah cuti yang sebenar-benarnya. Seringkali kita dapat break cuti dengan tujuan recharge. Tapi benarkah itu bisa kita lakukan? Bayangin, ketika cuti kita disetujui bos, orang lain tetap pada aktivitasnya. Dampaknya, walau kita cuti resmi hanya orang sekitar kita saja yang tahu bahwa kita libur. Bagaimana dengan mitra, teman dan saudara? Blas, mereka tidak mungkin tahu bahwa kita sedang cuti. Bisa ditebak, ponsel kita tetap saja krang-kring, krang-kring. Yang nelpon bukan hanya yang tidak tahu, yang tahu pun tetap saja nelpon kalau ada hal yang mendesak. Meskipun sudah disilent, rasa was-was pingin tahu adakah telpon atau sms penting masuk membuat mata kita terus melirik ke layar ponsel.
Lebaran? Inilah kebersamaan dalam cuti dan cuti yang sebenar-benarnya. Kompak libur. Rasanya pamali kalau masih tega-teganya ngomongin kerjaan.
Obrolan seru minggu-minggu terakhir Ramadhan didominasi rencana mudik dan perlawanan malas kerja pada saat semakin mepet jadwal mudik. Semua TV dari channel ke channel berlomba menyajikan gambar suasana mudik, baik lewat darat beraspal atau berbesi dobel, maupun yang menembus awan dan mengambang di air. Saya hanya bisa bilang salut untuk mereka yang memilih fasilitas minim. Hebat, mereka benar-benar berjuang keras untuk mencapai kampung halaman. Di jalan, saat melaju ke kantor, tampak deretan orang dengan kardus bertali rafia jauh hari sebelum Lebaran sudah meninggalkan kota mengejar diskon transport. Saya hanya bisa bergumam, asyiknya mudik! Umpatan macet hilang karena jalan menjadi lengang.
Kebiasaan saya menjelang mudik adalah membongkar baju-baju yang sudah jarang dipakai. Tapi operasi almari ini seringkali tidak berjalan mulus. Meskipun isi almari sudah berdesakan, tapi rasa sayang kadang masih menghalang. Padahal yang membutuhkan pasti senang menerima pakaian-pakaian yang sudah berpengalaman diajak bekerja dan dolan. Kalau sudah begini saya harus 'tutup mata' agar rasa sayang tak lagi menghalang.
Hunting makanan kecil adalah kebiasaan kedua. Kebetulan setiap Lebaran setidaknya ada 150 anak yang selalu datang ke rumah ortu. Pada saat itu biasanya ortu memberikan bingkisan beberapa jenis makanan kecil yang dikemas cantik dan sedikit uang jajan. Menyenangkan.
Soal jadwal mudik dua tahun ini agak kacau. Tahun lalu saya baru pulang sehari menjelang Lebaran, karena suami baru pulang menikmati hobinya. Tahun ini pun rasanya demikian. Agar masing-masing terpuaskan, kami sepakat tidak mudik bersama. Saya mudik duluan ke Jogja hari Sabtu, suami menyusul hari Senin. Inilah salah satu bentuk penghormatan terhadap ruang pribadi masing-masing (hmm..).
Alhamdulillah, Allah mempunyai 'fitur' mudik sehingga saya tidak harus tercabut dari akar budaya, tetap bisa menjalin tali silaturahmi dengan keluarga, tetangga dan teman.
Tapi ada satu yang mengganjal, cuti tambahan saya tidak disetujui Bos dengan dalih pengamanan target. Ternyata cuti Lebaran masih harus mikir kerjaan juga, jadi teori saya gugur dong, hehehe..
Mudik juga kan?
Ini iseng-iseng kedua..
Iseng pertama utak-utik template.. berubah cantik, tapi pernak-pernik raib.. untung template lama masih bisa diselamatkan..
Iseng kedua coba-coba nambah YM di template, kali ini pernak-pernik ilang, ga bisa diselamatkan.. Jam ilang, link ilang dan yang paling menyedihkan shoutbox ilang.. :( :(
Utak-utik lagi.. utak-utik lagi.. siapa tau template lama dan pernak-perniknya kembali, tapi tetep ga bisa.. jadi males buka laptop, males buka blog dan males posting..
Emang ga bakat utak-utik template.. waktu habis, blog tetep aja rusak.. bener-bener katrok dan gaptek..
Lagi berpikir bikin baru lagi.. (tp kok masih sayang sama yg lama ya..), gimana duooongg..??!
sumber gbr : dydudam.blogspot.com
Nah, biar lebih tahu, mungkin Tahu Magelang yang harus Anda tahu!
Kalau kebetulan sedang lewat Magelang atau sedang ke Jogja, sempatkan mampir ke Magelang karena disana ada Tahu Magelang yang rasanya dasyat! Biasanya saya memilih Tahu Pojok untuk melampiaskan keinginan saya. Meskipun namanya 'Pojok' tapi bukan berarti terletak di pojok. Warung Tahu Pojok justru berada di tengah diantara deretan warung-warung lainnya. Tempat ini menjadi favorit saya bukan karena saya sudah menjadi Pak Bondan yang OK sebagai guide wisata kuliner. Saya pilih tempat itu karena warisan dari mulut ke mulut.
Bagi yang belum pernah mencoba, Tahu Magelang adalah kolaborasi dari berbagai elemen. Mereka bahu-membahu menjadi makanan yang sedap. Apa sajakah elemen pendukung Tahu Magelang? Kuah yang segar, ditambah gerusan cabe rawit dan bawang putih, serta sarat dengan gerusan kacang tanah goreng. Tahu goreng setengah matang, lentho dan kupat dimutilasi sehingga sendok mudah meraup dan memindahkan ke mulut. Sayur mayur yang berperan di dalamnya adalah daun kol dan kecambah. Keduanya tersaji secara live, sehingga masih bugar saat disantap. Untuk menambah kesegaran, taburan daun seledri dan gorengan bawang merah, menjadikan tahu Magelang berasa uenak dengan tampilan yang sumringah.
Tertarik? Kalau pas ke Jogja (seperti saya saat itu) sempetin singgah sebentar di Magelang. Tempat ini bersebelahan dengan alun-alun Magelang, di pinggir jalan menuju kota Semarang. Jangan sapa saya lagi kalau lidah Anda tidak ketagihan... hehehe...
Baca lanjutannya ya...>>>>>
Ketika memandang jam, yang terpikir adalah posisi waktu saat itu. Selanjutnya, saya cuma terkesan oleh kinerja jarum jamnya. Detik, menit, jam selalu ditunjukkan dalam kurun waktu hari, minggu, bulan hingga bertahun-tahun. Gerakannya teratur dan jalurnya sama. Rutinitas yang monoton! Tapi jarum tetaplah bersemangat menunjukkan waktunya.
Sementara saya...
Setiap pagi saat suara nafas mesin mulai merata, itu tandanya mobil telah siap digeber. Jam yang sama, jalan yang sama, macet yang sama dan polisi cepek yang sama. Inilah babak baru rutinitas di jalan. Bahkan berkejaran dengan jam web absensi pun selalu berulang.
Selanjutnya, inilah rutinitas kantor. Meeting adalah salah satu suplemen yang harus disantap. Kadang dari suplemen berubah menjadi obat yang harus disantap 3 kali sehari. Beban pekerjaan kadang menjadikan tensi tinggi. Terutama saat metabolisme tubuh sedang jelek. Inilah hari-hari berat sebagai karyawan. Keluhan kadang mengucur tanpa perintah. Disinilah manajemen stress saya diuji. Obat mujarab yang biasa saya konsumsi saat 'penyakit' itu datang adalah "ingat gaji, gaji, gaji......!" Hehehe..
Weekend saat yang ditunggu untuk balas dendam. Molor sepuasnya, berdaster hingga paruh hari, jalan-jalan, makan, refleksi, spa atau facial bersama teman dan main bersama keponakan. Item-item tersebut tinggal dikombinasikan sesuai kebutuhan. Namun, rotasi variasi item-item itu jadi hal yang membosankan juga. Ternyata akhir Minggu bukanlah hal 100% yang mengasyikan. Hingga akhirnya saya sering melayang layang membaca posting yang satu ke postingan yang lain. Inilah referensi baru bagi saya untuk melepas kepenatan kerja. Hingga ada keinginan besar mempunyai blog sendiri. Saya benar-benar kesengsem walau harus mempelajarinya dari nol. Berkali-kali kesabaran teruji oleh kegagalan. Akhirnya, lahirlah Jendela, sebagai media sirkulasi informasi, berbagi dan bersilaturahmi. Semoga menjadi suplemen baru.. :)
Punya keasyikan baru juga ga?
sumber gbr : www.hidoop.com
Kalau mau yang instant, artinya cepat saji, saya pilih Mie Kadin. Tempatnya luas, tukang masaknya banyak dan dekat rumah. Di sini, mie godog adalah pilihan saya. Dulu, di warung ini banyak terpampang foto-foto orang penting era orba. Hal ini membuktikan banyaknya orang penting yang berhobi mie. Suasana di sini yang semula biasa menjadi seru dengan hadirnya Keroncong Funky. Walau usia para pemain sudah beranjak melampaui dewasa, namun mereka fasih menyanyikan lagu-lagu yang lagi top. Benar-benar kompilasi hebat. Dewa 19, Ungu, Nidji, The Rock mendadak berbaur dengan lagu-lagu ori-nya keroncong Jembatan Merah, Bengawan Solo, Selendang Sutera dsb.
Kalau mau sabar ya ke Bakmi Pak Kumis. Letaknya di pertigaan Kota Baru. Di sini, penjualnya emang berkumis. Yang paling dasyat, menurut saya adalah mie godognya (rebus), kuahnya tersaji cair, menyegarkan. Hati-hati dengan cabai hijaunya. Masih hijau tapi sudah menyengat. Nah, walau ada susu segar dan jeruk, coba pilih teh panasnya. Saya tidak tahu, kenapa tehnya benar-benar bikin plong. Soal harga?, murah tenan. Nah, di Pak Kumis ini tempatnya emang benar-benar hanya untuk orang-orang sabar. Lha piye, Pak Kumis hobinya pulang ke Wonosari Gunung Kidul. Jauh-jauh dikunjungi, tertanya libur. Bukan apes, tapi nggelani.....
Ada lagi Mie Mercon. Ini benar-benar klasik pol. Bayangin saja, tempatnya saja di pojokan sebelah barat Pojok Beteng Kulon. Bangkunya kuno. Mayoritas lesehan. Bakmi godognya dasyat. Benar-benar segar. Kalau mau komplit, rasakan dasyatnya balungan (tulang belulang) ayam. Kalau mau hangat, pilih duduk dekat anglo. Percikan arang dan suara decit kipas anyaman bambu sungguh mengasyikan. Soal menu minuman, di sini paling asyik jenis dan penyanjiannya. Teh panas, gula batu. Bonus satu cangkir kentelan, yaitu seduhan teh kental. Fungsinya sebagai alat ngejok alias refil. Tape ketan panasnya juga asyik. Hari biasa saja tempat ini cukup ramai, apalagi pas harpitnas dan lebaran, wuih minta ampun antrinya. "Nenggo kalih doso", suara perempuan paruh baya asisten chef, yang artinya nunggu dua puluh masakan lagi...
Mie Terban. Tempatnya di pasar Terban, sebelah pompa bensin. Biasanya, di kios sederhana ini, pak Tua chef utama meladeni para pelanggan. Sayang, 5 bulan lalu beliau pergi untuk selama-lamanya gara-gara sepeda motor menerjang tubuh rentanya. Syukur, anak laki-lakinya mampu mengambil alih estafet. Hasilnya, tidak mengecewakan. Mie godognya tetap segar. Tidak nek oleh bumbu masak. Jangan lupa, selalu pesan mie campur, bihun campur mie kuning. Nah, di sini Anda ketemu wedang ronde. Jadi, siapin tisu atau handuk buat kocoran keringat Anda.
Nah, kalau waktu cukup panjang dan bukan libur besar, Mie Mbah Mo adalah favorit saya. Dari Jogja, pilih jalur menuju Parang Tritis. Sampai perempatan Manding, penghasil kerajinan kulit, belok ke kiri. Ikuti sign board Bakmi Mbah Mo. Jauh, memang... Inilah generasi kedua Mbah Mo yang akan melayani Anda. Tempatnya di dalam kampung. Bangunannya juga sederhana. Bangku-bangku panjang mengapit meja-meja besar. Di dalam, ada tempat nyempil yang dikurung pagar bambu. Inilah tempat VIP. Saya pun tertawa dalam hati saat mendengar pengunjung dan penjual diskusi soal tempat VIP tadi. Namun, saya benar-benar percaya saat kunjungan ke empat saya, karena orang nomor satu di MPR hadir bersama keluarga untuk nge-mie. Sayang, tempat VIP sudah saya kuasai bersama keluarga. Soal rasa, jangan berkomentar sebelum mencoba. Standar mie ada di sini, anglo arang, telor bebek, mihun, mie kuning... soal rasa? All about mie!
Baca lanjutannya ya...>>>>>
Bulan Desember 2 tahun yang lalu, Jawa Pos memuat tulisan seputar kehidupan tanpa anak. Ada foto laki-laki sedang bercengkerama dengan 3 anak-anak. Ceria! Tapi siapa yang tahu apa yang sedang dipikirkan laki-laki tadi? Itulah suami saya bersama Dito, Raka dan Rangga. Anak-anak yang lucu buah perkawinan dua kakak saya.
Saya adalah bagian kebahagiaan bersama para keponakan. Berbeda dengan suami saya yang berani bertutur isi kepala dan perasaan di hati di Jawa Pos yang dibaca seabrek pelanggan, saya tidak. Tidak mampu! Perjuangan untuk mempunyai anak sudah 11 tahun seusia perkawinan saya. Mulai ramuan 'penyubur', tongkat kayu perangkat refleksi kaki sampai teknologi canggih inseminasi. Waktu terus merangkak, orang Jawa bilang "biar gak gelo" atau biar tidak kecewa di kemudian hari, saya putuskan bersama suami mengambil keputusan aji pamungkas, bayi tabung! mahal? tidak! Hanya moahal!! Mahal di waktu maupun di proses. Juga moahal karena mental tertekan habis.
Prosesi pertama disuntik di perut kanan kiri secara bergantian lebih kurang selama 2 minggu, untuk membersihkan rahim dan menambah kesuburan. Prosesi suntik saya lakukan sendiri setiap sore hari. Jadi setiap berangkat kerja saya selalu bawa ampul obat dan jarum suntik. Pernah suatu kali harus tugas di Bali, pas harus 'nyuntik' ternyata masih diperjalanan, terpaksa deh minta pengertian pak sopir keluar mobil sebentar. Hasil suntik menyuntik ini dipantau terus dengan USG. Setelah telor dirasa matang, saat itulah telor saya diambil untuk dipertemukan dengan sperma suami saya. Kira-kira 3 hari kemudian, hasil pembelahan telor dan sprema dimasukkan di rahim saya. Inilah saat yang paling menegangkan dan melelahkan baik fisik maupun psikis. Bayangkan, setelah hasil pembelahan dimasukkan dalam rahim saya, minimal selama 3 jam saya tidak boleh gerak dengan kepala ditaruh di bawah dan kaki di atas. Biasanya saya bertahan selama 8 jam. Gak kencing, makan disuapin dan berdoa supaya bisa tidur.
Kira-kira 10 hari kemudian, baru "rapor" siap dibagikan. Saat itulah yang paling menegangkan, dan 2x pula "rapor" saya merah :) Tapi semua saya kembalikan kepada Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu rencana hidup kita. Di Jendela yang terbuka ini, mungkin saran dan berbagi pengalaman adalah obat kuat bagi saya.
Jendela bukan Pintu. Pintu adalah akses utama. Ketika terbuka, isi perut terlihat menganga. Mata pun melotot bebas mengaduk-aduk semua isi. Puas.
Baca lanjutannya ya...>>>>>
Follow me
About me
Popular Post
Recent Comments
Friends
Online
Visitors Since 29/1/09
Blog List
-
-
-
Bertandang ke Kota Kecil Berpagar Gunung Merapi4 bulan yang lalu
-
-
Rekomendasi Olahraga Untuk Menurunkan Berat Badan1 tahun yang lalu
-
Sebuah Buku Mungil untuk Menjaga Bumi3 tahun yang lalu
-
Tips Terhindar dari Copet4 tahun yang lalu
-
-
Hallo9 tahun yang lalu
-
Tentang Undangan Terindah9 tahun yang lalu
-
New product in the “Chrysos” family9 tahun yang lalu
-
Ultra Street Fighter IV PC Game Full Download.9 tahun yang lalu
-
Kepribadian Wanita Dilihat Dari Bentuk Bibirnya11 tahun yang lalu
-
Ada Apa di Pulau Penguin?11 tahun yang lalu
-
Muncul Lagi11 tahun yang lalu
-
ptp12 tahun yang lalu
-
SKSD kabeh!12 tahun yang lalu
-
Sekalinya posting, tetep ga penting :p12 tahun yang lalu
-
Teori Relativitas13 tahun yang lalu
-
KH Zainuddin MZ Wafat....13 tahun yang lalu
-
Pyramid Psikoanalisa13 tahun yang lalu
-
LELEHAN RINDU15 tahun yang lalu
-
we never even got a chance to say good bye15 tahun yang lalu
-
aksioma...15 tahun yang lalu
-
September already18 tahun yang lalu
-
-
-
-
-
-
-
-