google-site-verification: google0ff5c5556fbbcbba.html

.:l jendela l:.

Celah Sirkulasi Untuk Berbagi

7.6.14

Untuk Ibu Tak Harus Menunggu Hari Ibu

Diposting oleh diNa |

Saya tiba-tiba ingat ketika suatu saat kantor saya giliran menugaskan saya dan beberapa teman untuk mengikuti sebuah sesi motivator, saya pun cukup excited. Pertama, itu berarti 3 hari lepas sejenak dari rutinitas pekerjaan, kedua bisa mengikuti sesi motivator yang konon sangat bagus dan mengagumkan, ketiga bisa jalan-jalan gratis dan dibiayai perusahaan. Kelihatannya yang ketiga yang mendominasi, hehehe..

Saat sesi motivasi hari pertama dimulai, hati saya pun masih sepi, belum greng, belum tersayat walaupun sang motivator sudah mengeluarkan segala jurus pengetuk hati. Sementara teman-teman di sekitar saya dari berbagai kantor cabang yang diundang mulai berurai air mata, tapi hati saya tetap bisu membeku!

Saya pun mulai menganalisa, mungkinkah lingkungan yang membuat suasana terasa mengharu biru? Atau mereka berusaha berlinang agar perasaannya dianggap "tanggap" oleh stimulus lingkungan? Atau justru saya yang kurang peka? Hahahaha...

Hari pertama berjalan lancar. Prestasi saya, perasaan tetap tegar, tidak goyah dengan berbagai macam stimulus. Gak ada setitik air mata pun jatuh berlinang di sudut mata saya meskipun saya sudah berusaha mengharu birukan hati saya. Hadeeehh Dinaaaa... toyor kepala sendiri, hehehe..

Hari kedua persaaan saya mulai nano-nano, utamanya saat sang motivator mulai membahas tentang orang tua, khususnya ibu. Stimulus itu benar-benar mengaduk-aduk hati dan perasaan saya, airmata saya benar-benar tidak bisa dibendung. Pertahanan saya akhirnya jebol juga.

Saya jadi ingat satu persatu perjuangan ibu sebagai single parent yang harus membesarkan keempat anaknya. Saya ingat betul bagaimana ibu selalu berusaha memenuhi kebutuhan kami berempat hingga kami di Perguruan Tinggi. Kepala jadi kaki dan sebaliknya kaki jadi kepala, mungkin itu pepatah yang paling tepat untuk ibu.

Mampukah saya mengkalkulasi waktu ibu yang hilang? Mengembalikan barang-barang memori yang tertelan di pegadaian? Dan yang paling penting, mampukah saya mengkalkulasi pengorbanan lahir batin ibu saat membesarkan kami anak-anaknya? Tetap bahagiakah ibu waktu itu?

Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran. Semakin banyak pertanyaan yang berkecamuk, tak terasa semakin deras pula air mata mengalir di sudut mata. Perjuangan ibu telah mengaduk-aduk hati dan pikiran saya.

Maaf Ibu, perhatian yang telah kami berikan mungkin masih jauh dari perhatianmu waktu dulu. Cinta kasih kami pun mungkin tidak bisa menandingi pengorbanan ibu selama ini. Tapi yakinlah bahwa kami selalu dan selalu ingin membahagiakan ibu. Tetap sehat, ceria dan bahagia terus ya bu... Kami semua sayang ibu..

Baca lanjutannya ya...>>>>>
Subscribe