Saya dan suami sudah bertahun-tahun mengarungi bahtera rumah tangga, namun sepertinya Tuhan belum berkenan memberikan kami 'penumpang'. Kami pun tanpa lelah terus berlayar mengarungi bahtera kehidupan. Susu, popok dan tangisan bocah untuk sementara diganti Tuhan dengan hari-hari penuh canda bersama suami.
Desember ini, saya ambil cuti 4 hari. Tapi karena ada long weekend, libur saya berkesan jadi panjang. Namun karena cuti baru di OK, suami pun bilang KO! "Bayangin, hari gini, peak season lagi, mau kemana kita?" ujar suami mencoba defense saat saya mengajaknya pergi agak jauh, syukur-syukur bisa memanfaatkan kartu sakti NPWP. Tapi boro-boro pakai NPWP, ke Bali atau Bandung saja kebanyakan hotel sudah fully booked. Inilah saatnya panen bidang transportasi dan akomodasi. Memang benar, cuti kudu dipikir jauh hari, supaya kita bisa memperkirakan tujuan dan budgetnya. Tapi apa daya tanggung jawab pekerjaan harus dijawab.
Setelah beradu argumentasi, tanpa tensi tinggi. Kami sepakat Jogja sebagai tujuan mufakat, walaupun seminggu yang lalu kami baru saja ke Jogja menghadiri pernikahan sepupu. Untuk memberi gimmick liburan, kami berencana mengajak Rangga, bocah laki-laki usia 6 tahun keponakan kami. Itu berarti kami harus nego ke kakak ipar. Walaupun libur resmi Rangga kurang sehari, tapi ijin orang tua sudah digenggam. Namun Rangga mensyaratkan khusus, ia mau bergabung kalau naik pesawat. Bocah multitalent ini memang punya keinginan terbang, karena kakak-kakaknya sudah pernah merasakannya. Kami pun mengiyakan permintaannya.
Sebagai pembelajaran, mulai memesan tiket, bocah klas 1 SD tadi kami ajak mengurusnya. Berbagai pertanyaan soal penerbangan dengan kemasan wajah sumringah terus mengucur. Terlebih saat tiket sudah ditangan, dan saya memintanya untuk membaca nama yang tertera. Suara khas bocah mengeja kalimat lantang terdengar: "Taranggana!!" Mulutnya yang lebar menyeringai memperlihatkan gigi-gigi susunya, senyum tulus inilah yang menghipnotis saya dan suami. Jujur, saya melihat keceriaannya. Seandainya hari-hari saya bisa melihat senyumannya, tentu tekanan pekerjaan tidak membuat saya lelah.
Pagi hari saat keberangkatan, seharusnya saya suka cita. Namun, cuaca di luar memberi pemandangan lain. Hujan deras dengan waktu tanpa batas. Jujur, ada rasa takut karena harus terbang dengan anak orang. Telpon rumah berdering, suara Rangga menanyakan jam jemputan. Hati pun semakin kuat berkat dorongan suami. Ketika sampai di rumahnya, Rangga dengan dandanan sporty-nya diantar papa dan mamanya. Mereka bahu-membahu memindahkan Rangga ke mobil dengan lindungan payung. Badannya sedikit basah, namun senyumnya tak pernah lepas.
Mandiin, nyuapi (meskipun sekarang sudah belajar makan sendiri), memberi vitamin, membuat susu, ngelonin tidur menjadi aktivitas rutin selama di Jogja. Belum lagi harus mengantar ke tempat bermain anak. Blas! Ga ada aktivitas wisata buat diri sendiri. Capek tapi asyik!
Hari pertama tiba-tiba Rangga jadi pendiam, tenggorokannya sakit katanya. Malam itu juga kami ke dokter anak. Kami tidak ingin liburan Rangga jadi terganggu. Belum lagi tiba-tiba giginya ada mau tanggal. Saya harus bisa meyakinkan bahwa itu adalah hal yang biasa. Untung Rangga anak yang gampang diberi pengertian, ga rewel. Rasanya tidak banyak anak seumur dia yang mempunyai tingkat pengertian seperti ini. Belum lagi dia dapat menciptakan kesibukan buat dirinya sendiri, menari gaya Jacko, menyanyi lagu-lagunya Nidji, bikin cerita boneka dengan menggunakan robot-robotnya, hmmm.. seandainya dia anak saya.. :) Seminggu ini benar-benar memberikan experience yang menyenangkan dan penuh tantangan. Ingin rasanya memperpanjang liburan.
Rangga… tunggu akhir tahun ya.. kita liburan bersama lagi.
Baca lanjutannya ya...>>>>>