google-site-verification: google0ff5c5556fbbcbba.html

.:l jendela l:.

Celah Sirkulasi Untuk Berbagi

19.9.10

BBM Group

Diposting oleh diNa |

Awalnya saya termasuk anggota pasukan anti BB. Waktu itu saya berfikir merk ponsel yang saya pakai masih mumpuni. Fiturnya mampu menjawab kebutuhan hidup berkomunikasi. Dorongan suami, ajakan teman ternyata tidak cukup mempan. Namun ketika mendapat undian dari kantor berupa diskon pembelian dan karena tuntutan pekerjaan barulah saya mencoba BB. Dasar Matre..!! :)

Setelah menggunakan BB ternyata sangat membantu. Urusan kantor lebih mudah teratasi, koordinasi menjadi lebih simple. Komunikasi benar-benar tidak terbatasi. Waktu itu pikiran saya hanya untuk kerja. Dengan berjalannya waktu kondisi itu mulai bergeser. BB telah memberikan kesenangan yang luar biasa. Berawal dari FB yang bisa diakses secara mobile, bisa jadi "teman" saat perjalanan dinas keluar kota. Bikin status, clometan komentar status, benar-benar bagian seru terkadang nyerempet saru. Perjalanan keluar kota jadi terhibur.

Suatu hari tercetus ide mengumpulkan teman-teman lama di dalam Group BBM. Sebelumnya saya hanya punya dua yaitu group yang anggotanya para sahabat saya dan group teman-teman lama yang sudah menyebar. Group pertama yang saya buat adalah group keluarga. Selanjutnya group teman SMA, satu persatu teman-teman SMA saya invite. Seperti multi level marketing, masing-masing membawa downline-nya. Hebatnya, anggota group bukan hanya teman sekelas, tetapi juga lintas kelas dan jurusan. Kemudian group teman kantor lama dan group teman kuliah. Ada 2 group lagi yang saya ikuti untuk koordinasi masalah pekerjaan. Agar tidak mengganggu kegiatan yang sedang berjalan, terutama saat bekerja, suara thang thing thang thung dari BBM Group saya silent, jadi hanya kelip-kelip bintang merah sebagai tandanya.


Diantara group yang saya punya ternyata group teman SMA yang paling aktif dan "gila" namun paling banyak memberi "warna". Dulu semasa sekolah tidak sedikit diantara kita hanya tegur sapa saja kala berjumpa. Kini, hubungan itu bagaikan keluarga. Hal terkecil dalam keluarga dan kerja bisa menjadi obrolan empati. Namun tak jarang obrolan saru jadi penambah bumbu. Guyonan kami masih tetap sama seperti dulu walaupun tempat tinggal sedikit banyak berpengaruh pada dialek kami. Hebatnya, kami masih bersemangat menggunakan bahasa Jawa aliran ngoko yang kasar.

Intensitas ini terbukti pada saat kopdar lebaran kemarin. Muka blingsatan dan jaim mengawali kopdar. Bisa jadi karena sadar bahwa pada saat di BBM Group celoteh ngawur untuk menghibur tanpa melihat langsung muka lawan bicara, kini harus berkomunikasi langsung dengan wajah-wajah yang lama tak bersua dan mulai mengubur kenangan waktu SMA. Dasar ikatan batin kami yang kuat membuat pertemuan awal yang beku segera menyatu. Rekaman celoteh di BBM Group kembali dibahas. Ketawa- ketiwi benar-benar menghibur hati. Melupakan sejenak urusan pekerjaan, kota asal dan pernik kehidupan lainnya.

Setelah kopdar kegiatan BBM bukannya mereda tapi semakin menjadi. BBM berlangsung sepanjang waktu, sepanjang hari. Anggota yang ikut tidak selalu lengkap, tergantung kesibukan masing-masing. Sampai tengah malam pun tak melihat gender semua masih ger-ger-an. Semoga para istri atau suami tidak iri dengan keakraban kami supaya kami tetap bisa ger-ger-an walau hanya melalui BBM.

sumber gbr : www.cio.com





Baca lanjutannya ya...>>>>>
8.8.10

Sabaleha

Diposting oleh diNa |

Bagi orang Jawa, mungkin juga suku lainnya ada dua ritual penting yang sering dilakukan dalam menyambut bulan Ramadhan, yaitu ziarah/nyadran/nyekar dan padusan atau mensucikan diri.

Menyonsong Bulan Suci Ramadhan, ritual ziarah/nyadran/nyekar ke makam leluhur dan kerabat biasanya dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia. Tujuan utamanya adalah mendoakan agar Allah senantiasa memberikan ruang terbaik untuk para arwah. Semakin dekat dengan bulan Puasa, semakin banyak terlihat gerombolan mobil dan motor parkir di mulut pintu makam. Banyak keluarga menyerbu makam dengan menenteng bunga tabur. Masyarakat sekitar makam dengan ramah bergaya guide mengantar dan membantu mencari lokasi makam yang dimaksud. Blok demi blok dilalui dengan kepala berisi GPS peta lokasi makam. Dengan menenteng pacul dan arit sang tamu tak perlu miris, peralatan tadi disiapkan untuk membantu membersihkan makam yang mungkin kurang terawat.

Dampak ekonomi 'kecil' sangat terasa. Perputaran uang dimulai dari penjual bunga tabur dan merembet ke tukang parkir dadakan dan bermuara kepada para pembersih makam. Bayangkan hal ini terjadi pada mayoritas penduduk Indonesia yang jumlahnya menembus 200 jutaan.

Untuk menyambut Bulan Puasa, juga ada tradisi seru yang sering dilakukan yaitu padusan yang berasal dari bahasa Jawa adus (mandi). Ada kuajiban untuk membersihkan diri dan berdoa sebelum memulai Puasa. Di pedesaan, banyak sungai dan sendang menjadi tujuan ritual ini. Seperti halnya makam, tempat ini pun menggulirkan sektor ekonomi 'kecil'. Berbeda dengan suasana di pedesaan, kolam renang dan tempat bermain air lah yang menjadi tujuan utama di perkotaan.

Berhubungan dengan ziarah, nyadran atau nyekar, kebetulan ayah saya bersemayam di sisi Allah di Padang Sumatera Barat. Sebuah perjuangan untuk bisa sowan ke makam ayah. Selain jarak dan waktu, sedikitnya jumlah penerbangan secara otomatis menggelembungkan harga tiket, belum lagi kalau ada tradisi besar seperti saat ini. Hal ini ditambah lagi dengan sistem pengelolaan makam di sana yang memberlakukan sistem sewa yang ketat. Saya dan keluarga harus terus menerus memantau masa berakhirnya masa sewa makam agar Ayah terus dapat dikunjungi.

Makam umum ini terletak di dekat bandara Padang. Luasnya minta ampun. Saya dan keluarga pernah dibuat bingung mencari lokasi makam ayah. Telpon terus menyala memohon arahan dari Om yang telah berjasa memindahkan makam ayah dari gempuran ombak pantai di Payahkumbuh.


Menyerah. Setelah kantor makam buka, akhirnya saya memohon bantuan juru kunci. Ternyata, tidak gampang juga memahami bahasa Padang di telinga orang Jawa. Juru kunci berkali-kali bilang "Sabaleha". Blas saya tidak mudeng, berkali-kali saya mencoba menebak kata itu, tetapi dikandaskan karena salah. Baru setelah ada petugas lain dan menuliskan, ternyata makam ayah saya terletak di nomor Sebelas H (11H). Dengan sigapnya juru kunci renta itu menunjukkan makam ayah saya dengan tepat tanpa toleh kanan kiri. Hebat..!! Hafal di luar kepala..!!

Tahun ini kembali saya dan keluarga harus segera ke Padang untuk memperpanjang sewa makam. Ada wacana makam ayah akan kami pindahkan ke Jawa agar lebih mudah perawatannya. Namun tentu hal ini butuh persiapan. Moga-moga Pak “Sabaleha” selalu diberi kesehatan agar bisa menunjukkan makam ayah lagi, karena saya yakin pasti kami kembali kebingungan mencarinya.




Baca lanjutannya ya...>>>>>
10.6.10

si Kodok

Diposting oleh diNa |


Bukan bicara soal tempurung, pasangan sejati peribahasa kodok alias kodok dalam tempurung, tapi ini soal kendaraan rakyat produksi Jerman. Alat transportasi ini sempat 'menguasai' jalanan Indonesia era 70 hingga 80 an. Berbagai jenis merambah bumi Indonesia seperti combi, kodok, safari, varian, pasat dsb. Katanya, safari adalah keluarga VW yang paling akrab dengan KTP (Kartu Tanda Penduduk), karena kendaraan ini pernah mengabdi bagi para camat Indonesia. Sebelum program kependudukan, konon combi adalah pilihan keluarga 'besar', baik dalam jumlah anak maupun size, karena mobil bongsor ini mampu menampungnya. Nah, diantara jenis VW, kodok adalah 'icon'–nya.

Kodok mempunyai bentuk yang lucu dan tak lekang oleh jaman. Terlebih, hampir semua warna cat mampu menambah inner-beauty-nya. Kodok tak pernah me-reject karakter seseorang. Mau imut, mau tegas, mau gagah, mau selengekan, semua tercermin dari tampilan catnya. Keunikan inilah yang menjadikan populasi VW Kodok paling subur dibandingkan keluarga VW yang lain.

Ketika reuni di rumah teman, saya sempat melongo kagum melihat koleksi teman saya. Bagaimana tidak, di rumah joglonya bertenger tiga VW, dua kodok warna putih dan biru, plus safari warna oranye. Satu persatu saya tatap detailnya. Tatapan saya sebenarnya bukan berhenti di sini, tapi tatapan saya mengarah ke sorot mata 'binal' suami saya. Terlihat matanya memerah 'birahi' melihat nafsu terpendamnya selama ini. Suami saya memang penggila VW selain kamera, F1, Moto GP dan jeep. Apalagi suami saya pernah menjadi angota KMD (Komunitas Mobil Dinas) yang kebetulan adalah jeep. Pake mobil dinas jeep selama 15 tahun rasanya tidak bisa melupakan masa indahnya. Tapi VW tetap impian nomer satunya. Untungnya selama ini saya berhasil membelokkan keinginannya untuk tidak memiliki VW.

Teman kuliah saya lah yang selama ini menjadi pijakan berdiskusi soal VW. Minggu lalu teman saya bertugas di Surabaya, waktu luangnya dipenuhi schedule berburu dan meramu VW. Alhasil, obrolan si kodok semakin menyodok topik yang lain.

Tanggal 2 Juni, saat warga Surabaya memilih calon kepala daerah. Suami saya ternyata mempunyai dua agenda, satu memilih di TPS dan satu lain memilih Kodok hasil pengamatannya. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, saya tidak sempat beradu argumentasi. Wajahnya mencerminkan isi kepala yang menggebu untuk memperoleh keinginan lama. Saya semakin terpatung saat sebuah taksi berhenti menjemputnya, mengantar ke rumah si kodok.

Sekitar satu jam saya dag dig dug. Jujur, batin saya sebenarnya juga menyukai si kodok. Tapi, keputusan yang mendadak ini apakah mampu memenuhi hasrat saya? Saat kantuk menyerang, terdengar suara seperti hujan lebat mendadak mendarat. Suara gemuruh bercampur suara seruling berhenti di depan rumah. Melalui jendela, saya mengintip pujaan suami. Alhamdulillah, kesan pertama sangat memikat. Selanjutnya, permintaan drive test tidak bisa saya tolak. Plong, Alhamdulillah ternyata kenyamanan dan hembusan AC-nya mampu menyejukan rasa penasaran saya. Terlihat gaya shock culture gaya nyetir suami saya. Banyak panel yang berbeda dengan mobil hariannya. Si Kodok maroon kini telah resmi menjadi bagian dari keluarga kami, moga-moga ga mengurangi budget dapur :)




Baca lanjutannya ya...>>>>>
2.4.10

Melawan Hati

Diposting oleh diNa |

Bukan ngomong soal sakit hati, apalagi lever. Ini hanya sebuah kebingungan dan keheranan. Berkali-kali saya mencoba untuk mengikuti selera pasar, trend memang sudah ditakdirkan selalu berganti. Rotasi alamiah bak musim. Rotasi alamiah bak buah-buahan. Kontra bisa saja terjadi, namun jumlahnya sangatlah sedikit. Untuk itulah, kelompok kontra tidak bisa disebut sebuah trend. Trend tetap disebut sebagai sebuah 'budaya' mayoritas.

Sekelumit kalimat penguatan selalu didengungkan oleh pakar, "jadilah dirimu sendiri". Inilah payung bagi kelompok seperti saya yang dengan susah payah 'harus' menerima sebuah trend (yang tidak sesuai karakter). Memang kata pakar tadi banyak benarnya, jadilah diri sendiri adalah sebuah penerimaan seluruh jiwa dan raga terhadap masuknya sebuah barang asing yang disebut trend. Penerimaan yang utuh ini membuahkan kepuasan batin dan rasa pede yang tinggi. Untuk sebuah pergaulan bisnis dan sosial, kenyamanan perasaan semacam ini sangatlah mutlak. Dampaknya komunikasi menjadi lancar bak air mengalir tanpa ada perasaan was-was yang menguras energi dan kosentrasi.

Sebagai bagian dari makhluk sosial dan profesional yang sama-sama membutuhkan intensitas interaksi yang tinggi, disinilah casing atau penampilan mendapat penilaian awal yang dapat mempengaruhi kesan pertama. Setelah itu baru isi kepala memainkan peran selanjutnya. Apabila keduanya mampu dikawinkan, klop..!! jadilah pribadi yang indah sekaligus cerdas. Energi super untuk sebuah interaksi.

Sekali lagi, saya mempunyai penilaian sendiri tentang mode. Bahkan mungkin saya termasuk golongan konvensional. Tak apa, kata batin harus didengar dan harus mendapatkan nutrisi agar tetap hidup sesuai karakternya. Rasanya ada perasaan bersalah ketika saya tidak menuruti kata hati. Bukan apatis, karena saya yakin banyak juga yang akhirnya seleranya berubah mengikuti trend, meskipun harus melalui perjuangan panjang yang intens. Saya menyerah untuk yang satu ini walaupun kata hati sering saya ajak kompromi untuk suatu perubahan yang tidak drastis. Asal tidak harus "melacurkan" karakter, saya masih bisa menerima. Saya sangat setuju, kompromi antara trend dan kata hati adalah sebuah solusi. Selamat datang (lagi dan lagi) dan terus bersama saya untuk warna putih... my favourite color!!


Baca lanjutannya ya...>>>>>
26.1.10

Budget Branding Diri

Diposting oleh diNa |

Enakan mana kerja pakai seragam atau baju bebas? Kayanya pakai seragam lebih enak ya.. yang jelas lebih irit, kelihatan kompak dan ga perlu mikir mode. Tapi tidak enaknya engga bisa nggaya dan engga bisa nyoba mode yang macem-macem. Sebenarnya fungsi utama baju untuk menutupi aurat dan menjaga tubuh dari segala cuaca. Tapi hari gini baju mempunyai fungsi lain, baju bisa untuk aktualisasi diri yang berujung gengsi. Penghormatan spontan bisa terjadi manakala tampilan belaka yang di kedepankan.

Mode memang menuntut perputaran cepat. Untuk itu kenapa sering kita jumpai seseorang yang dengan cepatnya beralih dari satu mode baju ke mode baju yang lainnya. Mengikuti mode berarti harus siap isi kantong tergerus. Fenomena ini mungkin yang memunculkan konsep mix & match. Tapi ternyata itupun tidak selalu menjadi solusi yang tepat.

Karib bahkan lebih luas lagi yang disebut gank, bahkan ada yang lebih luas lagi yang disebut komunitas adalah kondisi yang turut andil besar membentuk kita dalam berpenampilan. Lingkaran di dalamnya seperti lingkaran setan, maju kena mundur kena. Artinya kalau kita sudah kecemplung seperti teh celup, harus larut menyatu. Di luar baju, kebiasaan nongkrong di café mau tidak mau harus diikuti. Berapa kocek yang mengalir untuk secangkir kopi? Berapa kali sebulan dan dimana? Apakah cafe yang dituju ada fasilitas diskon dari kartu kredit atau tidak? Kalau gak ada diskon kocek akan semakin dalam terogoh. Belum makan malamnya loh.. Belum clubingnya loh.. Bukan itu saja, harus dihitung juga kita menjadi bagian dari berapa komunitas. Kalau satu komunitas aktif saja rajin mencetak debet di buku tabungan, bagaimana kalau banyak komunitas yang kita ikuti? Eksis emang menuntut branding diri di mana-mana.

Eksitensi dan akutualisasi memang perlu. Tekanan pekerjaan dan era dimana kita hidup turut menutut. Terlebih kalau kita masuk di dunia jasa, jaringan adalah media koneksitas berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang. Jika mampu mempersatukan, ada titik terang urusan pekerjaan dan bisnis jadi lancar.

Kembali ke uraian di depan. Untuk menikmati status eksis di linkungan kerja saja kita sudah diporakporandakan urusan penampilan, apalagi harus menyadang status eksis di luar kantor, byuh byuh pusing mikirnya. Rasanya kita memang harus menggali potensi diri, syukur menjadi spesialis, sehingga eksis bukan hanya dari sektor penampilan dan haha hihi, tetapi dari prestasi. Rasa-rasanya cara ini emang paling murah, tapi harus dilakoni secara fokus dan serius. Bagaimana, mau eksis gaya yang mana?




Baca lanjutannya ya...>>>>>
Subscribe