Pagi-pagi ibu sudah mengoprak-oprak anak, cucu dan menantu agar bergegas berebut untuk urut mandi. Rumah londo kecil yang asri terasa sesak penuh dengan kami para pemudik. Beruntung, rumah ini dijejali 3 kamar mandi sehingga mempermudah percepatan distribusi kami untuk segera mandi, berkemas dengan baju muslim baru dan berbagi koran bekas sebagai alas sajadah. Berrrrrr......, mobil kami beriringan melaju menuju Alun-Alun Lor Kraton Jogja untuk sholat Ied. Selesai sholat Ied, berrrrrrr..... mobil kembali beriringan melaju ke rumah ibu. Step selanjutnya adalah berkumpul di meja oval dekat dapur. Para cucu mendapat pelayanan pertama sarapan kupat opor ayam, masakan khas ibu di Hari Lebaran. Dilanjutkan para senior mengaduk-aduk daging ayam sesuai selera. Berkali-kali dan bertubi-tubi guyonan penuh ledek menghiasi kehangatan keluarga saya. Tanpa sadar guyonan kadang melintasi batas makna lebaran untuk saling memaafkan. Nol kilometer alias kosong-kosong yang baru saja disepakati akhirnya tanpa disadari telah terlewati. Keseleo lidah membuat para cucu gampang mecucu. Inilah dunia anak yang penuh dinamika. Lucu, seru dan selalu bikin rindu.
Usai makan, ibu mulai open house. Bak pejabat, antrian anak-anak dan tetangga sekitar sudah memanjang. Tradisi berbagi khususnya untuk anak-anak dimulai. Berderet anak-anak antri silaturahmi dan ibu menyampaikan paket tali asih dengan rapi. Seruuuuuu....
Sayang ritual rutin itu untuk tahun ini terpaksa absen. Jauh di tengah puasa Ramadhan, ibu jatuh sakit. Sudah 4 pack darah di Jogja belum juga menunjukan titik terang. Evakuasi dari Jogja berharap solusi. Suntikan 5 pack darah di Surabaya disertai observasi kelas tinggi alhamdulillah membuahkan solusi. Ibu mengalami kebocoran di usus halus. Butuh waktu panjang mulai observasi, operasi potong usus hingga pemulihan. Semua harus ikhlas. Ibu harus legowo menerima ujian dari Allah. Memeriahkan kemenangan bangsa saat 17 Agustus dan umat Islam pada saat Lebaran terpaksa dilakukan di rumah sakit. Keluarga juga harus legowo menjauhkan pikiran dari asyiknya mudik.
Ada hal baru bagi saya dan keluarga. Usia ibu yang sudah cukup lanjut ternyata mendatangkan perhatian baru pasca operasi. Ibu menderita derilium. Kondisi ini ternyata membutuhkan perhatian khusus yang tulus dari keluarga. Obat tidur tidak juga manjur. Ibu menjadi hiperaktif untuk turun dari tempat tidur dan meminta untuk kondur. Tenaga menjadi berlebih. Halusinasi menghiasi jam perjam dalam kesehariannya. Kami berpiket menjaga. Gerogotan lelah dan stress tidak kami rasakan. Ibu tetap segalanya bagi kami. Ketulusan kasih sayang selalu kami kedepankan. Kupat opor yang biasa ibu sajikan, kali ini kami ganti menjadi Hari Ibu, alias hari-hari untuk ibu.
Alhamdulillah, 23 Agustus lalu ibu sudah boleh keluar dari rumah sakit setelah hampir sebulan menjadi rumah kedua bagi kami. Delirium pun telah punah. Tinggal pemulihan usus dan belajar berjalan setelah hampir sebulan hanya tiduran. Kemarin ibu ulang tahun yang ke 74 tahun. Doa kami buat ibu, selalu sehat, bahagia dan panjang umur. Aamiin...
Bulan Agustus, menjadi bulan istimewa bagi kami. Puasa Ramadhan, Lebaran sekaligus "Hari Ibu".
Usai makan, ibu mulai open house. Bak pejabat, antrian anak-anak dan tetangga sekitar sudah memanjang. Tradisi berbagi khususnya untuk anak-anak dimulai. Berderet anak-anak antri silaturahmi dan ibu menyampaikan paket tali asih dengan rapi. Seruuuuuu....
Sayang ritual rutin itu untuk tahun ini terpaksa absen. Jauh di tengah puasa Ramadhan, ibu jatuh sakit. Sudah 4 pack darah di Jogja belum juga menunjukan titik terang. Evakuasi dari Jogja berharap solusi. Suntikan 5 pack darah di Surabaya disertai observasi kelas tinggi alhamdulillah membuahkan solusi. Ibu mengalami kebocoran di usus halus. Butuh waktu panjang mulai observasi, operasi potong usus hingga pemulihan. Semua harus ikhlas. Ibu harus legowo menerima ujian dari Allah. Memeriahkan kemenangan bangsa saat 17 Agustus dan umat Islam pada saat Lebaran terpaksa dilakukan di rumah sakit. Keluarga juga harus legowo menjauhkan pikiran dari asyiknya mudik.
Ada hal baru bagi saya dan keluarga. Usia ibu yang sudah cukup lanjut ternyata mendatangkan perhatian baru pasca operasi. Ibu menderita derilium. Kondisi ini ternyata membutuhkan perhatian khusus yang tulus dari keluarga. Obat tidur tidak juga manjur. Ibu menjadi hiperaktif untuk turun dari tempat tidur dan meminta untuk kondur. Tenaga menjadi berlebih. Halusinasi menghiasi jam perjam dalam kesehariannya. Kami berpiket menjaga. Gerogotan lelah dan stress tidak kami rasakan. Ibu tetap segalanya bagi kami. Ketulusan kasih sayang selalu kami kedepankan. Kupat opor yang biasa ibu sajikan, kali ini kami ganti menjadi Hari Ibu, alias hari-hari untuk ibu.
Alhamdulillah, 23 Agustus lalu ibu sudah boleh keluar dari rumah sakit setelah hampir sebulan menjadi rumah kedua bagi kami. Delirium pun telah punah. Tinggal pemulihan usus dan belajar berjalan setelah hampir sebulan hanya tiduran. Kemarin ibu ulang tahun yang ke 74 tahun. Doa kami buat ibu, selalu sehat, bahagia dan panjang umur. Aamiin...
Bulan Agustus, menjadi bulan istimewa bagi kami. Puasa Ramadhan, Lebaran sekaligus "Hari Ibu".