google-site-verification: google0ff5c5556fbbcbba.html

.:l jendela l:.

Celah Sirkulasi Untuk Berbagi

6.12.14

IBUKU JUGA AYAHKU

Diposting oleh diNa |

Ketika pantatku sudah merasakan posisi nyaman duduk di bangku kelas, konsentrasi tingkat dewa dimulai. Kedua telingaku merekam gerakan mulut guru matematika. Sebal! Kenapa mesti harus ketemu pelajaran ini lagi. Tanganku lincah menggoreskan hal-hal yang dirasa penting di lembar halaman buku. Kadang bolpoin beralih fungsi sebagai alat garuk kulit kepala saat bosan mulai menerjang. Mulut pun mulai komat kamit mempersembahkan sumpah serapah untuk si guru. Berdoa, berharap bel sekolah segera menjemput guru meninggalkan ruang kelas. Berdoa, semoga segera menanggalkan seragam putih abu-abuku. Benakku segera ingin berkata, "Good bye pelajaran matematika."

Di tengah pelajaran, seperti biasa pikiranku melayang dan melompat-lompat menelanjangi isi rumah nun di sana. Hobi aneh, tapi mengasyikan dan bikin ketagihan. Lauk apa ya siang ini? Makanan yg tertinggal di kamar dimakan adik gak ya? Semoga makananku masih di tempatnya saat pulang sekolah nanti. Benakku mulai liar melayang. Kepikiran. Satu per satu sudut kamar kost sederhana yang disewakan ibuku pun aku "telanjangi". Hmmm.., jadi ingat gaya mereka. Anak kost, ada yang baik, namun ada juga yang tengil. Bahkan ada yang merasa hebat karena latar belakangnya dari keluarga berada meskipun sekarang biasa saja. Tapi alhamdulillah, manusia "aneh" seperti itu tidak mendominasi keluarga besar anak kost di rumah kami. Biasanya mereka adalah warga titipan. Bisa masuk asal ada katebelece alias rekomendasi dari warga atau lulusan warga.

Persyaratan saat masuk menjadi strategi jitu memilih karakter yang hampir sama dengan harapan kami. Ibu sangat menggarisbawahi soal aturan ini, untuk melindungi "asrama dara", kakak, aku dan adikku yang semuanya perempuan.

Sedang apa ibuku? Pikiranku melompat lagi. Sedang memasak? Membersihkan rumah? Memilih sayuran sambil ngobrol dengan Yu blanjan? Sebutan kami untuk pedagang sayur yang biasa keliling di kampung kami. Ataukah sedang menggerakan mesin jahitnya yang bermerek Standard? Suaranya khas, seperti derap langkah tentara baris berbaris, semakin lama semakin kencang.

Di rumah kami yang berarsitektur Belanda, bekas rumah jaman Belanda, suara mesin jahit Standard serasa menggema. Memecah kesunyian. Kedua kaki ibu tanpa beralas kaki kompak menggerakan pedal besar yang terkoneksi dengan tali rotan yang menggerakan engkol. Otomatis gerakan ini diterima jarum menembus pori-pori kain, mengikuti garis pola yang telah diukur sebelumnya. Menyalurkan dan mempertemukan dua benang sebagai "lem" yang berfungsi sebagai pengikat dan menyambungkan kain-kain tadi menjadi pakaian. Bau minyak terbakar seperti aroma terapi. Bau ini hanya muncul saat mesin mulai kelelahan dan memanas. Balutan minyak di tali rotan yang terkena panas adalah sumber aroma terapi tadi. Baunya khas, mengalahkan bau karbol yang menempel di lantai rumah.

Beberapa hal yang membuat ibu baru bisa berhenti dari aktivitas menjahitnya, antara lain saat ibu tidak kuat lagi menahan rasa ingin kencing. Jarak antara kamar tengah dengan kamar mandi lumayan jauh. Oleh arsitek Belanda kamar mandi ditaruh di bagian belakang. Filosofi klasik menyatakan, hal-hal yang menimbulkan bau seperti dapur dan kamar mandi sebaiknya berada di posisi paling belakang. Hal-hal yang bersifat kebaikan dan keindahan berada di bagian depan, seperti kebanyakan posisi ruang tamu dan ruang keluarga. Jarak yang lumayan jauh adalah berkah, karena saat itulah ibu bisa menggerakan kembali bagian tubuhnya yang lain. Kesempatan untuk melemaskan otot-otot yang kaku karena berjam-jam duduk di bangku mesin jahit.

Ibu juga baru berhenti sejenak saat terdengar ketukan pintu rumah. Tamu datang adalah berkah. Bisa jadi tamu itu akan memberi uang jasa ongkos menjahit. Bisa juga, tamu itu datang membawa bahan untuk dijadikan pakaian. Untuk tamu yang mengambil jahitan, istirahat ibu otomatis sebentar. Memberikan baju yang telah jadi dan mengambil uang kembalian dari dompet yang disimpan rapi di dalam almari pakaian. Namun jika tamu membawa kain, istirahat ibu bisa lumayan panjang. Mengukur bagian-bagian tubuh dengan meteran lalu mencatatnya di buku tebal yang mulai kumal. Plus bonus ngobrol menemani tamu berbasa-basi.

Saat ibu sedang menjalankan mesin jahitnya, kadang aku menemani ibu sambil bermanja ria. Berbagi bangku dengan ibu, menyenderkan kepala di punggung ibu sambil membuka buku pelajaran. Hatiku terasa ayem dan tentrem. Sesekali aku mencoba memecahkan suara mesin jahit dengan pertanyaan-pertanyaan yang kurang penting. Pokoknya, sekedar menghibur dan memberi energi baru untuk ibu. Sangat simple, tapi terasa sangat mahal. Kangen rasanya...

Kadang aku juga kebagian peran sebagai anggota team penjemput bola. Bila masa bayar sekolah tiba, namun pakaian yang telah jadi belum juga diambil oleh pemiliknya, itulah tugasku, berperan laksana debt collector. Mencari alamat dengan sepeda pancal, menembus gang-gang kecil khas kotaku. Pulang, kaki mengayuh sepeda dengan riang karena uang untuk bayar SPP sudah di saku. Kadang langganan ibu ada yang baik hati, memberi tip saat aku mengirimkan bajunya. Mungkin tidak tahan melihat wajahku yang bermandi peluh. Lumayan untuk menambah uang jajan. Namun tidak jarang pula aku bertemu dengan langganan ibu yang hanya berbicara sepatah dan seperlunya, persis gaya orang kaya di sinetron yang rajin menghiasi televisi saat ini. Senang tidak senang, aku harus senang. Merekalah yang memperpanjang kesempatanku bersama kakak dan adikku menduduki bangku sekolah.

Tidak semua uang jahitan diterima utuh oleh ibu. Biasanya ibu sudah wanti-wanti minta dibelikan benang, sekoci, kain keras, kancing baju, ritsleting dan bila perlu mampir ke tukang jahit menutup ongkos service mesin jahit. Di tengah pelajaran, kadang pikiranku bukan hanya terpaku soal ibu. Tapi juga tentang ayah. Pria gagah dengan karakter keras ini adalah sosok tangguh dalam keluarga. Darah Sumenep Maduranya adalah perpaduan kehalusan dan pekerja keras khas orang Madura pada umumnya.

Ibu memilih ayah selain tampan, juga karena ayah adalah laki-laki sejati. Sebelum menikah, ayah sudah mempunyai modal berumah tangga yang sangat digdaya. Rumah, vespa, belum lagi barang-barang hobi khas lelaki, seperti motor gede, juga beberapa kamera dan jam tangan branded. Perantauan Madura ini mampu menyejajarkan kebutuhan kuliah dan bekerja. Dua-duanya Alhamdulillah berbuah berkah. Ketika lulus kuliah ayah malah terus menekuni bisnisnya. Khas mahasiswa, bisnisnya seputar kursus mengetik, jasa pengetikan dan kursus menulis. Lama kelamaan bisnis tadi berkembang menjadi percetakan kecil-kecilan. Kehidupan kami bisa dibilang nyaman. Kami menempati rumah yang berada dalam lingkaran tengah kota, cukup menjadi bukti kemampuan ayah mengais rejeki halal.

Di tengah kemapanan hidup ala kami, ayah meninggalkan bisnisnya. Ibu menginginkan ayah menjadi pegawai negeri mengabdikan diri sesuai ijasah dari Fakultas Hukum yang selama ini hanya mengisi bagian arsip di almari. Ayah pun harus pindah dari satu kota ke kota lainnya. Pada saat Ayah dimutasi ke Payakumbuh Sumatera Barat, kami sekeluarga ikut diboyongnya. Disana ayah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri. Seperti kebanyakan keluarga pejabat, hidup kami pun penuh hormat.

Hidup itu ternyata seperti cuaca. Pagi terang benderang, malam hujan bisa mengguyur deras. Pun demikian bisa juga sebaliknya, pagi hujan deras, sore terang benderang. Begitupun hidup kami. Ayah mengalami gagal ginjal dan akhirnya dijemput oleh Sang Khaliq. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Seperti membalikkan telapak tangan, kehidupan kami benar-benar kembali ke titik nadir. Disaat duka belum juga sirna, ibu memutuskan memilih kembali ke kota asal. Saat itu umur ibu masih ranum, 30 tahun. Aku berusia 2 tahun, kakak laki-lakiku satu-satunya berusia 5 tahun, kakak sulung 8 tahun, sedangkan adik bungsuku masih berusia 1,5 tahun. Untuk pulang ke kota asal, ibu memilih kapal laut untuk memindahkan kami. Hantaman ombak selama perjalanan sepertinya pembelajaran Allah kepada keluarga kami. Berhari-hari kami terombang-ambing di tengah laut. Allah sepertinya mulai membiasakan hidup kami seperti kapal yang sedang berlayar. Terombang ambing dan penuh tantangan alam.

Seperti terbangun dari tidur panjang. Kini ibu harus menyingsingkan lengan baju. Maju perang mengais rejeki yang halal. Ibu harus bisa bangkit di saat kritis dengan cara yang taktis. Padahal selama ini ibu hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja. Beruntung, ibu dulu sekolah SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Putri), pekerjaan khas perempuan lumayan mudah dikuasainya. Ibu memilih menjahit untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun beberapa keluarga ayah termasuk berada, namun ibu lebih senang memilih prinsip hidup ala Mahatma Gandi. Ibu ingin berdiri di atas kaki sendiri. Tidak ingin menyusahkan dan menggantungkan diri kepada orang lain, apalagi menjadi berhutang budi. Itu Prinsip!

Menjahit dan menyewakan beberapa kamar kost sederhana sepertinya tidak bisa menutup kebutuhan hidup kami berlima. Terlebih saat musim membayar SPP dan undangan manten datang bertubi-tubi. Pernah nestapa saat kakak laki-laki kami harus opname di rumah sakit selama sebulan akibat penyakit thypus yang menderanya. Untuk mengambil hati para perawat, mustahil bagi kami untuk menabur oleh-oleh seperti keluarga pasien lainnya. Ibu hanya memberikan fasilitas gratis menjahit pakaian untuk mereka. Cespleng, mereka menyambut dengan suka cita. Kami pun senang karena kakak mendapat atensi lebih dari para perawat. Untuk melunasi tagihan kamar dan obat, harta peninggalan ayah satu persatu dilego. Termasuk untuk meneruskan kehidupan kami. Live must go on.

Namun Allah memang Maha Penyayang, alhamdulillah kami berempat selalu mendapat beasiswa, lumayan untuk menambal kebutuhan sekolah. Jujur dan bekerja keras, khas gaya ayah almarhum sepertinya sudah ditransformasi ke ibu. Estafet, ibu menularkan ilmu tadi kepada kami. Hanya prestasi dari anak-anaknyalah yang mampu memberi energi untuk ibu. Prestasi memberi citra dan kebanggan untuk ibu. Itulah stamina yang membuat ibu terus tegar.

Dalam keadaan apapun aku tidak pernah melihat wajah ibu berduka, meskipun mungkin dalam hatinya lara. Masa indahnya bersama ayah terlalu cepat berlalu. Kenikmatan isteri seorang pejabat belum cukup dirasakan. Keindahan duniawi seorang isteri harus ikhlas ditinggalkan. Ibu harus menerima kenyataan hidup, double peran untuk terus menghidupi dan menyekolahkan kami. Keceriaan itulah yang menular kepada kami anak-anaknya. Kami tidak pernah merasa miskin, tidak pernah merasa minder, kami menerima hidup apa adanya. Kegigihan ibu mengais rejeki siang dan malam, menjalankan roda mesin jahit, menyambungkan beberapa potongan kain menjadi pakaian menghasilkan buah yang manis. Kami berempat akhirnya bisa menggondol gelar sarjana dari Universitas terkemuka di Yogyakarta.

Semangat mengayuh roda mesin jahit menambah semangat kami berjibaku dengan buku. Itulah lamunan yang sering menyela saat aku mengikuti pelajaran sekolah, pun sampai sekarang saat aku telah berkeluarga. Lamunan sebagai ungkapan kagum dan kebanggaan yang luar biasa. Kini, ibu telah berusia 76 tahun, namun semangatnya masih seperti dulu. Urat-urat perjuangannya masih tampak sampai sekarang.

Ada satu hal yang tidak bisa aku terjemahkan sampai sekarang. Kenapa saat ibu menjanda di usia 30 tahun, ibu tidak menikah lagi. Ibuku sangat cantik. Semakin cantik dengan rambut ikalnya. Tidak kalah jika diadu dengan para pemeran film Asrama Dara, Film favorit para remaja tahun 70-an. Sepertinya ibu tetap berusaha memelihara cinta untuk ayah.

Rumah Belanda itu telah puluhan tahun sepi. Satu persatu kami anak-anaknya beranjak dewasa, beranak pinak dan mengais rejeki di kota lain. Kini ibu adalah penghuni tunggal. Sepi, itu pasti. Hanya ditemani mbak Yah, loyalis yang selalu mendampingi ibu. Asisten yang selalu memenuhi kebutuhan ibu. Satu lagi teman setia ibu, yaitu mesin jahit bermerek Standard. Namun mesin jahit itu kini telah pensiun dini. Tidak ada lagi suara gemuruh menghadirkan rupiah di keluarga kami. Peran mesin jahit kini telah kami gantikan. Secara gotong royong kami urunan untuk menopang dan mencoba membahagiakan ibu.

Satu kebanggaan kami rasakan ketika mampu mempertemukan ibu dengan makam ayah. Puluhan tahun kedua insan manusia yang telah berpadu terpisahkan oleh fulus. Tidak adanya tabungan dan tidak adanya kelebihan, membuat ibu tidak mampu mengunjungi makam ayah di Padang Sumatera Barat. Ketika sampai di makam ayah perasaan gembira ibu berlipat-lipat. Pertama, ibu bisa bertemu dan bisa merawat makam ayah setelah berpuluh-puluh tahun lamanya. Kedua, ternyata makam ayah nyaris diratakan karena sistem kontrak tanah makam yang diterapkan. Beruntung kami mampu menyelamatkannya, mengurus kontrak tanah makam sesuai peraturan baru.

Gotong royong dengan para saudara terus berlanjut. Kali ini kami menghantarkan ibu ke rumah Allah. Raut wajahnya terlihat ceria menutupi raut wajah kelelahan seorang perempuan perkasa. Selain berdoa, ibu merasa puas mampu mengumrohkan ayah. Namun aku yakin, persembahan kami masih sangat kecil bila dibandingkan dengan kasih sayang dan pengorbanan ibu selama ini kepada kami.

Kalau menengok ke belakang rasanya kelu dan ngilu. Hanya dengan mesin jahit dan Restu Allah ibu mampu menghidupi dan menyekolahkan kami berempat hingga kaki kami bisa mandiri bertumpu. Ibu pahlawan buat kami. Hanya dengan ijasah setara SMA mampu menggerakan roda kehidupan seorang diri dan menjadikan kami lebih berarti. Sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa. Sampai kini mesin jahit bermerek Standard itu masih menghiasi kamar ibu.

Sesekali ibu masih menggunakannya untuk memperbaiki bajunya yang robek dimakan usia. Seperti ibu, mesin jahit itu masih tampak kokoh dan tegar. Bagi kami mesin jahit itu adalah cerminan semangat ibu. Cerminan masa lalu yang pilu. Namun semua itu telah berlalu. Biarlah mesin jahit itu menjadi kenangan kami dan menjadi penyemangat kami mengarungi kehidupan yang penuh dengan liku. Terima kasih ibu.

Baca lanjutannya ya...>>>>>
Subscribe