google-site-verification: google0ff5c5556fbbcbba.html

.:l jendela l:.

Celah Sirkulasi Untuk Berbagi

27.10.13

Filmku Sayang Filmku Tayang

Diposting oleh diNa |

Masih ingat film Ainun dan Habibie? Entah kenapa tiba-tiba saya teringat kembali ketika saya melewati gedung bioskop tua tidak jauh dari rumah ibu saya di Jogja, saat liburan Idul Adha kemarin. Pikiran saya pun melayang ke belakang, teringat saat itu..

Ketika Film Ainun dan Habibie cetar membahana di seantero negeri, sepertinya secara serentak kita terbangun dari mimpi. Puja-puji bertubi-tubi terus mengisi celah-celah program televisi. Pun sanjungan tak pernah kering mengisi halaman Koran. Cerocos teman dan keluarga bak pemecut yang mendorong kuat saya untuk mengunjungi bioskop. Sudah bermingggu-minggu roll film berputar-putar, namun tak menyurutkan semangat penonton untuk datang, bahkan datang dan datang lagi. Penasaran kian menguat tatkala popcorn dan minuman dingin berpindah ke tangan saya. Bergegas kaki melangkah menuju pintu studio. Ketika film dimulai, saya mencoba mengerem tangan dan mulut untuk tidak menyentuh bekal popcorn dan minuman yang saya bawa. HP sudah terlebih dulu saya silent. Konsentrasi..!!  

Tertawa dan tangis akhirnya usai. Hebat, detail dan cerdas merangkum otobiografi setebal itu menjadi padat ringkas dan sesak oleh muatan pelajaran tentang hidup dan menghargai pasangan hidup. Di luar kerja hebat orang-orang film, sosok Habibie adalah kunci. Keteladanannya sebagai pemimpin rumah tangga, industri hingga negara adalah kekuatan luar biasa. Di luar itu, cara promosi adalah magnet yang mampu menyedot kuat berbagai elemen untuk memberikan apresiasi. Yang tak kalah penting adalah timing yang tepat. Film itu terlahir saat dominasi infotainment mengupas hingga ampas-ampasnya berita perselingkuhan dan perceraian. Ainun dan Habibie, bak embun membasahi kegersangan hidup. Memupus ceritera miring kehidupan rumah tangga, membangun harmoni suami isteri. Harus kita akui, saat ini kita sangat haus pelajaran moral tinggi seperti yang ditunjukkan Ainun dan Habibie. 

Film hebat itu ternyata juga telah membangunkan memori saya tentang sebuah bioskop legendaris di dekat rumah saya, bioskop Permata di Jogja. Salah satu bioskop legendaris tadi kini sudah lama mati. Bahkan nama bioskop lambat laun dikalahkan oleh ketenaran bakul gudeg yang nempel di emperannya. Dulu merupakan griya pencerahan pikir, kini tinggal pencerahan perut semata. Seandainya... Ini benar-benar pangandaian... Apabila produser film ketat dalam memproduksi film, seandainya produksi film tidak hanya bermuara pada pundi-pundi uang saja, saya yakin Film Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. 

Berkali-kali saya "dikapokkan" oleh produksi asal-asalan. Mungkin saya tidak sendirian. Kapok masal menjadikan kita ogah berkunjung ke bioskop. Kapok masal membuat apriori untuk film made in anak negeri. Alhamdulillah, akhir-akhir ini banyak film anak negeri dengan kualitas tinggi. Bagi saya wajib untuk datang mengapresiasi. Memberikan penghargaan adalah nutrisi bagi para awak perfilman kita. Bahkan saya jadi teringat tentang bioskop Permata Jogjakarta dekat rumah saya waktu kecil. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengais rejeki dari sana tidak perlu pensiun dini. Tidak perlu di PHK. Mereka bekerja untuk kehidupan keluarga. Bisa dibayangkan, berapa bioskop di Indonesia yang harus kukut. Berapa jumlah nyawa yang hidup tertangggung dan merana. 

Bukan hanya produksi film yang berkualitas. Kita juga butuh para awak pelakon yang mampu bersaing. Terpenting, festival film kita harus hebat dan terhormat. Disinilah apresiasi yang akan dibayar oleh sineas dengan maha karya bernilai tinggi. Berharap terus lahir film hebat untuk “kesehatan” dan usia panjang film kita. Semoga bioskop-bioskop lokal sebagai ujung tombak menghidupkan kembali proyektornya.

Baca lanjutannya ya...>>>>>
Subscribe