google-site-verification: google0ff5c5556fbbcbba.html

.:l jendela l:.

Celah Sirkulasi Untuk Berbagi

28.8.11

Opor Ayam Ibu

Diposting oleh diNa |

Saya sangat mengagumi 'fitur' Allah Swt yang bernama Puasa Ramadhan. Selama sebelas bulan seluruh jiwa dan raga 'diperas' untuk memuaskan hasrat hidup. Istilahnya, kadang kaki harus di kepala, kepala kudu di kaki. Itulah tantangan hidup yang harus dihadapi seperti halnya bermain sirkus. Belum lagi, kita tak tahu persis kondisi metabolisme dalam tubuh kita saat ini. Tak jarang juga pakem hidup sehat diterjang. Kualitas makanan dan kualitas istirahat menjadi terabaikan.

Alhamdulillah ada fitur Puasa Ramadhan. Selama satu bulan penuh semua organ tubuh mendapat jatah keringanan kerja. Masing-masing organ dapat terus berfungsi tanpa harus ngoyo (kerja keras). Waktu beribadahpun serasa sayang untuk ditinggalkan. Puasa Ramadhan juga memberikan tantangan seru. Menjelang pagi kita harus bangun menyiapkan masakan untuk Sahur. Seminggu pertama tidaklah terasa, minggu selanjutnya fisik terasa terusik. Tekanan pekerjaan berpacu dengan kantuk yang terus menyerbu. Apapun, tantangan ini sungguh sangat seru. Niat adalah proteksi kuat untuk selalu bersemangat.

Fitur Allah SWT selanjutnya adalah Hari Kemenangan. Perasaan lega jika kita merasa telah memenuhi kuajiban dari Yang Kuasa. Walau belum sempurna, yang penting ikhlas menjalani dan selalu berusaha memperbaiki diri, selanjutnya kita pasarahkan pada Yang Maha Tinggi. Saat Lebaran tiba, inilah saat yang paling dinanti dan diminati.

Prosesi menikmati Hari Kemenangan kurang afdol jika tanpa dilalui dengan ritual mudik, meskipun kadang tidak bisa masuk di akal. Apapaun latar belakang ekonomi, sosial, budaya bahkan agama, mudik adalah sebuah keharusan. Logika benar-benar telah dikalahkan secara telak oleh 'emosi'.

Persiapan mudik pun cukup menguras energi. Kali ini saya membawa oleh-oleh batik Madura hasil hunting langsung dari Pulau Garam. Oleh-oleh buat keluarga untuk mempererat tali persaudaraan. Mudik juga mengharuskan pantat kami harus menempel di jok mobil durasi 7 hingga 9 jam, sangat tergantung situasi dan kondisi di jalan. Belum lagi emosi ikut terbakar manakala ada pengemudi yang tidak bertatakrama.

Lelah pun sirna saat memasuki rumah ibu. Seketika ingatan terulang pada masa-masa kecil hingga remaja. Terlebih jika mendengar suara keponakan berantem berebut gadget. Menjelang sholat Ied, kami harus memetakan jumlah keluarga dengan seat mobil. Ada tradisi dari keluarga saya untuk selalu sholat Ied di alun-alun Kraton Yogya. Lautan manusia dengan keyakinan yang sama memberi spirit tersendiri.

Sepulang Sholat Ied suasana yang paling saya tunggu-tunggu adalah ritual makan bersama Ketupat Opor Ayam buatan ibu. Rasanya gak ada yang bisa mengalahkan enaknya Opor Ayam buatan ibu, bahkan chef master sekalipun :) Kenikmatannya sebenarnya bukan hanya pada masakannya., tetapi juga bagaimana cara kami menikmatinya. Kami makan bersama sambil saling bercerita dan bercanda. Ruang makan favorit kami justru yang di dekat dapur, jauh dari suasana formal dan penuh aturan. Opor ayam ibu benar-benar telah menyatukan kami. Opor ayam ibu telah menjadi ajang semakin mempererat persaudaraan kami. Opor ayam menjadikan kami kembali ke masa kecil yang penuh kebahagian, sebelum akhirnya kami 'tercerai-berai' karena pernikahan. Sungguh terlalu mewah dan indah suasana ini. Suasana yang setiap tahun selalu saya rindukan.

Baca lanjutannya ya...>>>>>
1.8.11

Disorientasi Ruang

Diposting oleh diNa |


Suami saya termasuk orang yang beruntung. Dia sudah mengunjungi 7 sirkuit F1 atas sponsor dari media atau travel agent. Bahkan ada beberapa sirkuit yang dikunjungi lebih dari 1X. Setiap kali dia berangkat, selalu ada pertanyaan kenapa saya ga ikut. Saya selalu jawab sekenanya, ga hobi balapan, ga punya uang atau karena saya ga bisa cuti. Saya pikir jawaban tadi sudah mengunci pertanyaan berikutnya, ternyata tidak! Lahirlah pertanyaan baru, "kalau ga suka lihat balapan ga usah ikut ke sirkuit, jalan-jalan saja putar-putar kota." Berkali-kali mendapat pertanyaan seperti itu rasanya saya ingin mengungkapkan inti permasalahan yang sebenarnya.

Sebenarnya saya adalah penganut paham disorientasi ruang, hahaha... Saya termasuk diantara 90% wanita yang kurang mampu membaca ruang sebaik pria. Jangan tanya saya mengenai arah mata angin atau arah jalan ke suatu tempat tertentu. Rasanya saya ga pernah punya feeling soal arah. Bingung saat harus menentukan utara, selatan, barat, timur kecuali kanan dan kiri. Otak saya benar-benar jauh dari google earth! Saat keluar dari lift, terlebih saat kepala penuh beban pekerjaan, itulah saat kekonyolan saya. Pada saat lift berhenti di lantai tujuan, disitulah pikiran berkecamuk keras, mau ke kiri atau ke kanan? Jawabannya hampir sama, saya selalu memilih arah yang salah! Kaki terhenti ketika lorong berbatas tembok. Hanya balik arah untuk kembali melangkah ke arah yang benar :)

Kebiasaan saya kerap menjadi lelucon keluarga atau teman. Mereka sangat paham kebiasaan saya. Rasanya serba salah, bertanya menjadi bahan olok-olok, tidak bertanya selalu salah arah. Yang paling mengkuatirkan saat saya harus bersama atasan saya atau mitra. Karena kurang mampu membaca ruang, saya kuatir mendapat cap tidak menguasai medan. Sungguh memalukan...

Pengalaman seru terjadi saat Umroh. Sebenarnya hotel tempat saya menginap sangat dekat dengan Masjid Nabawi, hanya berbatas dua jalan. Keluar hotel, jalan lurus sudah memasuki gerbang utama. Suatu saat sehabis saya menjalankan sholat shubuh di masjid Nabawi bersama ibu tanpa kompas hidup (suami), tiba-tiba jalan pulang ke hotel berubah menjadi city tour hanya gara-gara pintu keluar yang saya lalui berbeda dengan pintu masuk. Beribu langkah saya tempuh belum juga menemukan hotel tempat menginap. Saya mencoba malu bertanya untuk mengasah logika dan ingatan. Saya akhirnya pasrah ketika melihat wajah ibu terlihat kelelahan. Ampuuuunnn....

Namun suatu saat saya ngakak mengaca kebiasaan saya soal disorientasi ruang. Biasanya teman, saudara dan suami yang tertawa, kini giliran saya yang ngakak saat membaca sebuah buku. Pertama kali saya membaca buku ini kira-kira 2 tahun yang lalu, tapi saya tak pernah bosan mengulanginya, dan tetap saja tertawa seolah-olah sedang bercermin. Buku karya Allan + Barbara Pease berjudul "Why Men Don’t Listen & Women Can’t Read Maps" benar-benar menguliti saya terutama mengenai terbatasnya kemampuan perempuan dalam membaca ruang. Di dalam buku itu disebutkan jangan pernah memaksa seorang perempuan membaca peta atau petunjuk jalan. Jangan pernah memberi petunjuk arah pada seorang perempuan dengan cara memberitahu petunjuk arah mata angin, namun berikan patokan arah dengan menggunakan patokan gedung. Seolah buku itu menguatkan kebiasaan saya selama ini. Gue banget...!! :)

Dalam buku itu disebutkan bahwa perempuan dan laki-laki memang berbeda. Bukan karena ada yang lebih baik atau lebih buruk tapi hanya berbeda meskipun mereka mempunyai ketrampilan, kemampuan dan potensi yang sama. Disebutkan pula bahwa dengan memahami satu sama lain diharapkan dapat untuk membangun kekuatan secara bersama dan bukan sibuk membicarakan kelemahan masing-masing.

Hmmm... lega rasanya. Ternyata saya masih normal. Uniknya, meskipun saya termasuk penganut disorientasi ruang, namun saya tidak pernah berusaha menguranginya. Biarlah ini menjadi "kelebihan" saya. Tiada manusia yang sempurna (excuse.com).

Baca lanjutannya ya...>>>>>
Subscribe